
Reportase Kegiatan Filantropi Indonesia Festival 2025
WHITESPACE 1: Kolaborasi Pemerintah, Swasta, dan Masyarakat Sipil dalam Skema PPP untuk Indonesia Emas 2045
Jakarta, 5 Agustus 2025 — Dalam rangkaian Filantropi Indonesia Festival (FiFest) 2025, Wahana Visi Indonesia (WVI) menggelar sesi WHITESPACE 1 dengan tema “Bersinergi dalam Pembiayaan Pembangunan Berkelanjutan: Strategi Public-Private Partnership (PPP) dalam Upaya Peningkatan Kualitas Hidup Menuju Indonesia Emas 2045.” Sesi ini menjadi wadah diskusi multipihak dari unsur pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat sipil yang berfokus pada penguatan kolaborasi untuk menyelesaikan isu-isu prioritas nasional, seperti penurunan stunting, penguatan sistem pasar pertanian, dan pemberdayaan komunitas.
Prof. Budi Setiyono, S.Sos, M.Pol, Ph.D selaku Sekretaris Kementerian Kependudukan dan Pembangunan Keluarga (Kemendukbangga) RI menyampaikan bahwa kemitraan dalam skema PPP merupakan strategi penting untuk memperkuat pembangunan berkelanjutan. Pemerintah bertanggung jawab melaksanakan amanat konstitusi untuk menyejahterakan rakyat. Swasta dan filantropi juga memiliki tujuan sosial, meski jalannya berbeda. Karena itu, kerja sama perlu dibangun atas dasar kesamaan visi, saling menguntungkan, dan kebermanfaatan bagi masyarakat. Beliau menambahkan bahwa dalam isu kesehatan seperti stunting dan TBC, kolaborasi harus mencakup kompensasi yang sesuai baik dalam bentuk profit, non-profit, maupun nilai sosial lainnya.
Lebih lanjut, PPP dinilai memberikan sejumlah manfaat strategis: pertama, mendukung pembangunan infrastruktur dan operasionalisasi aset; kedua, memungkinkan pencapaian keuntungan ekonomi; dan ketiga, menjadi alternatif sumber pembiayaan program pemerintah. Namun demikian, pemerintah mengingatkan bahwa kesenjangan pelaksanaan di daerah masih terjadi karena perbedaan kapasitas sumber daya manusia. Dalam konteks ini, kehadiran lembaga lain seperti filantropi dan organisasi masyarakat sipil diperlukan untuk menutup celah tersebut.
Santi Juardi, perwakilan Tim Pendamping Keluarga (TPK) dari Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat, berbagi pengalaman mengenai perubahan sikap masyarakat terhadap program kolaboratif. “Dengan adanya dukungan dari WVI dan pemerintah, edukasi tentang stunting semakin meluas. Warga mulai memahami pentingnya pencegahan stunting sebagai upaya melindungi generasi masa depan,” katanya. Ia juga menegaskan bahwa program kolaborasi cenderung lebih diterima karena pendekatannya menyentuh langsung kebutuhan dan budaya lokal.
Dari sektor swasta, Bahtiar dari Syngenta Indonesia menceritakan kisah sukses kolaborasi jangka panjang di Sulawesi Tengah sejak 2018. Dalam kerja sama bersama WVI, Syngenta membantu petani jagung meningkatkan produktivitas melalui pelatihan dan pembuatan demoplot. “Sebelum program ini, hasil panen hanya sekitar 2-3 ton per hektar. Setelah intervensi, hasilnya meningkat signifikan,” ungkapnya. Ia menilai bahwa kemitraan berjalan baik karena ada tanggung jawab yang jelas, komunikasi terbuka, dan tujuan bersama untuk mengurangi kemiskinan.
Kak Vans dari WVI menjelaskan bahwa pendekatan yang digunakan dalam kolaborasi tidak hanya fokus pada sistem pasar, tetapi juga pada peningkatan kapasitas di tingkat rumah tangga. Tim WVI melatih petani, termasuk perempuan dan penyandang disabilitas agar mampu mengakses pasar dan menjalankan budidaya secara berkelanjutan. Pemerintah desa juga turut berperan melalui subsidi dan dukungan kebijakan. Beliau menekankan pentingnya inklusivitas dan sinergi sumber daya untuk mencapai dampak maksimal.
Dari sisi kebijakan pembangunan nasional, Dr. Rachman Kurniawan, M.Si – Manajer Pilar Pembangunan Lingkungan Sekretariat SDGs Indonesia menjelaskan bahwa kemitraan multipihak sangat penting untuk mempercepat pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Capaian global masih stagnan, sedangkan Indonesia sudah mencapai di atas capaian tersebut. Namun masih ada banyak target yang memerlukan perhatian khusus. Kolaborasi dan inovasi pendanaan adalah kunci untuk percepatan. Beliau juga menyampaikan bahwa Bappenas sedang mengembangkan repositori praktik baik berbasis digital sebagai sarana pembelajaran bersama.
Dalam sesi tanya jawab, para narasumber sepakat bahwa kepercayaan dan komunikasi adalah fondasi utama dalam kemitraan. Kolaborasi berhasil jika semua pihak merasa dilibatkan, memiliki peran, dan tujuan yang sama. Sementara itu, Pak Bahtiar menegaskan pentingnya kesepakatan awal terkait peran dan kontribusi masing-masing pihak agar kerja sama berjalan lancar dan berkelanjutan.
Diskusi ini ditutup dengan kesimpulan bahwa skema pembiayaan PPP bukan hanya soal kontribusi finansial, tetapi juga soal keberpihakan pada kelompok rentan dan penyelesaian masalah sosial. Dalam menghadapi tantangan yang semakin kompleks, solusi kolaboratif melalui PPP menjadi jembatan penting untuk mewujudkan kesejahteraan dan menyongsong Indonesia Emas 2045.
Reporter: Mashita Inayah R (PKMK UGM)
Reportase Tanggal 6 Agustus 2025 - Festival Filantropi
Pada Rabu (6/8/2025) di Taman Ismail Marzuki digelar talkshow yang mengedepankan beberapa kisah sukses Gerakan komunitas atau organisasi filantropi dalam berbagai bidang, yaitu untuk lingkungan hidup (misal: Aksi Jaga Bumi oleh KitaBisa dan budidaya maggot sebagai social enterprise dan difasilitasi oleh pemkot DKI Jakarta), dan perubahan iklim (misal: Bakti Barito yang melakukan program Green Guardians untuk pengelolaan warung sampah oleh anak-anak sekolah, perbaikan infrastruktur sekolah dengan bangunan ramah lingkungan, dan lain-lain. Yayasan Bakti Barito menyatakan bahwa investasi filantropi mereka untuk lingkungan hidup memiliki Social Return on Investment (SROI) sebesar 3,97 (untuk setiap 1 Rupiah yang dikeluarkan, memberi manfaat sebesar 3,97 rupiah). Yayasan Bakti Barito sendiri telah berkontribusi sebesar Rp 270 milyar (tahun 2020-2025) untuk program-program terkait lingkungan dan perubahan iklim, termasuk misalnya pengolahan sampah plastic menjadi bahan aspal.
Topik lain yang juga dibahas Adalah mengenai Kesehatan. Terkait dengan kontribusi filantropi untuk Kesehatan, dalam hal ini program stunting dan nutrisi anak.
Rumah Zakat: Bikin Peduli- Strategi dan Aksi Kolaborasi untuk Indonesia Bebas Stunting
Inisiatif Desa Bebas Stunting yang difasilitasi oleh Rumah Zakat dimulai pada 2018, yaitu pemberdayaan kader kesehatan desa untuk meminimalisir risiko stunting dengan pendekatan keluarga. Rumah Zakat memilih desa-desa sebagai lokus utama mereka dengan berkoordinasi dengan Kementerian dan Dinas terkait. Kemudian mereka menerjunkan “relawan inspirasi’ untuk mendampingi desa tersebut.
Program utama mereka mencakup edukasi kepada catin (calon pengantin), bumil, busui, dan kader. Namun, di luar itu, mereka juga melakukan dukungan untuk enabling ekosistem yang memadai, misalnya: menyediakan bantuan sarana prasarana posyandu, menyediakan pojok stimulasi di Posyandu, membuat dapur gizi di Posyandu (dapur gizi ini menjual makanan bergizi, PMT untuk balita, untuk lansia dan untuk disabilitas) dan melaksanakan program sedekah (telur, sampah, minyak jelantah, dan sebagainya) untuk pengembangan ekonomi, pendampingan untuk administrasi sipil (untuk menjamin akses ke JKN), bantuan untuk rujukan ke fasilitas kesehatan di wilayah sulit akses, fasilitasi jamban sehat keluarga, membuat kebun gizi keluarga, dan lain-lain.
Pada 2024, hasil binaan yang telah dihasilkan: 97 posyandu dibina, 1020 kader terlatih, Membentuk 42 Social Enterprise (berupa dapur gizi), Penerima Manfaat ibu sejumlah 1475 orang dan Penerima Manfaat balita sejumlah 3141. Hasilnya Adalah penurunan angka stunting di desa-desa lokus mereka. Jumlah Penerima Manfaat balita yang telah bebas stunting pada 2024 yaitu 1066.
Kolaborasi juga dilakukan dengan Gerakan filantropi lain. Sebagai contoh, bekerjasama dengan Adaro Grup (mencakup 15001 sasaran balita). Acara ditutup dengan workshop pembuatan MPASI bergizi dengan bahan lokal sederhana.
Reporter: Shita Dewi (PKMK UGM)
Sesi Panel: DARI TRADISI MENUJU TRANSFORMASI SOSIAL: Rekonstruksi Budaya Filantropi di Indonesia untuk Membangun Ekosistem Filantropi yang Berkelanjutan
Hotel Borobudur, Jakarta, 7 Agustus 2025
Acara resmi Festival Filantropi dibuka oleh Rizal Algamar (Ketua Badan Pengurus Perhimpunan Filantropi Indonesia) dan Franciscus Welirang (Ketua Dewan Penasihat Perhimpunan Filantropi Indonesia). Sesi pembukaan Festival Filantropi mendorong kebutuhan untuk memperkuat budaya filantropi Indonesia melalui internalisasi nilai-nilai Piagam Budaya Filantropi, peningkatan tata kelola yang transparan dan akuntabel, serta penguatan kolaborasi lintas sektor. Dengan mengusung pendekatan strategis dan integratif, sesi ini mendorong kontribusi nyata sektor filantropi dalam mendukung pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) secara berkelanjutan dan berdampak luas. Namun, diakui ada beberapa tantangan untuk mewujudkan budaya filantropi tersebut. Pertama, budaya donasi masih bersifat reaktif, belum terarah pada program jangka panjang. Selain itu, masih minimnya transparansi dan akuntabilitas dalam tata Kelola organisasi filantropi. Di sisi lain, donator juga mungkin mengalami kebingungan karena banyak program dan intervensi yang tumpeng tindih di tingkat nasional dan subnasional. Tantangan lain Adalah masih belum terlibatnya kelompok rentan dan minimnya keberagaman dalam ekosistem filantropi.
Materi silahkan Unduh DISINI
Reporter: Shita Dewi (PKMK FKKMK UGM)
Sesi parallel: Urgensi Reformasi Regulasi Kebijakan menuju Ekosistem Filantropi yang Inklusif, Efektif dan Akuntabel
Hotel Borobodur, Jakarta, 7 Agustus 2025 - Sesi ini mengangkat urgensi reformasi regulasi filantropi untuk menciptakan ekosistem yang inklusif, efektif, dan akuntabel di era digital. Dalam sesi ini, disoroti hal-hal seperti tantangan kebijakan terkini (contoh: sistem perizinan yang using), fragmentasi regulasi, dan perlindungan donatur, serta menggali solusi reformasi berbasis bukti untuk memperkuat transparansi, efisiensi, dan partisipasi dalam praktik filantropi nasional.
Kristianto Silalahi (Badan Pengawas Perhimpunan Filantropi Indonesia) dalam sambutannya menyampaikan bahwa peringkat Indonesia sebagai negara dermawan turun dari nomor 1 (tahun lalu) menjadi nomor 21 (dari 101 negara yg disuvei oleh World Giving Report). Posisi no 1 saat ini diduduki oleh Nigeria. Walau pun, menurut estimasi, Masyarakat Indonesia menggunakan 1,55% penghasilannya untuk tujuan-tujuan donasi, lebih tinggi dari negara-negara ASEAN lain, dan lebih tinggi dari rata-rata dunia (1.05%).
Pembicara Utama: Prof. Dr. Ir. R. Nunung Nuryartono, M.S. (Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kesejahteraan Sosial, Kementerian Koordinator Bidang Pemberdayaan Masyarakat, Republik Indonesia) mengakui bahwa UU no 8/1961 tentang Pengumpulan Uang dan Barang (UU PUB) serta PP tahun 29/1980 tentang Pelaksananaan Pengumpulan Sumbangan (PP PPS) sudah terlalu kuno dan ketinggalan jaman. Sementara di sisi lain, Inpres no 8/2025 mengamanatkan pemanfaatan dana non pemerintah untuk membantu upaya pemerintah mencapai tujuan-tujuan prioritas nasional. Filantropi, diakui beliau, memiliki peran penting untuk menangani masalah sosual, membina inovasi sosial, membangun komunitas yang lebih kuat, melengkapi upaya pemerintah dan mendorong perubahan jangka panjang. Oleh karena itu, Prof Nunung menghimbau kepada DPR untuk merevitalisasi UU tersebut. Ada 2 hal lain yg beliau soroti selain isu regulasi yg usang, yaitu perlunya reformasi regulasi serta fragmentasi kewenangan antar lembaga
Siradj Okta, S.H., L.L.M., Ph.D. (Dosen Universitas Katolik Indonesia (Unika) Atma Jaya) menyampaikan beberapa poin kunci dari perubahan yang harus dilakukan: UU bukan banya diperbaharui isinya, tetapi juga ‘roh’nya (dari yg sifatnya ‘pengawasan’ menjadi ‘ fasilitasi’). Contoh riilnya adalah penekanan reformnya bukan pada “perizinan” dan distribusi dari donasi, melainkan “pendaftaran berbasis lembaga” dan penguatan ekosistem untuk filantropi. Selain itu, penyesuaian dengan teknologi saat ini penting untuk diakui dan ditata, misalnya platform digital, fungsi OJK, dan sebagainya; perlindungan dan hak-hak donatur.
Berikutnya, sesi diskusi dimoderatori oleh Sita Supomo (Direktur Eksekutif Indonesia untuk Kemanusiaan) dan menghadirkan pembahas yang terdiri dari Arif R. Haryono (General Manager Dompet Dhuafa), H. Marwan Dasopang, M.Si. (Ketua Komisi VIII DPR Republik Indonesia) dan Hamid Abidin, S.S,Msi. (Dewan Pakar Perhimpunan Filantropi Indonesia).
Arif menyoroti bahwa aturan tentang zakat bernafaskan: mempermudah pemberian, tetapi mempersulit penyaluran. Dengan kata lain, mayoritas mindset regulator adalah semua pelaku filantropi tidak Amanah. H. Marwan menyambut positing urgensi revitalisasi UU PUB, dan menantang para hadirin untuk segera mengajukan draft RUU-nya. Beliau menitipkan bahwa UU PUB yang baru nantinya harus jelas mengatur transparansi dan akuntabilitas dari donasi dan filantropi yang dilakukan serta bagaimana mengukur dampaknya. Beliau juga menyinggung bahwa UU Zakat pun perlu diperbaharui. Selanjutnya, H. Marwan juga mengingatkan bahwa semua pihak harus menanggalkan ego-nya Ketika nanti menyusun draft RUU demi kepentingan bersama. Terakhir, Hamid menyoroti bahwa penyisiran terhadap hal-hal yang memberatkan perlu segera dilakukan. UU PUB sangat pendek, namun PP PPS sangat detil dengan klausul-klausul yang memberatkan dan tidak praktis/tidak mungkin dilakukan. Oleh karena itu, beliau usulkan agar reformasi pertama yang perlu dilakukan Adalah mengganti PP PPS tersebut. Sebagai contoh, PP PPS meminta perizinan dari Kemensos untuk setiap program (bukan perizinan Lembaga) donasi/filantropi, dan ini prosesnya butuh sekitar 2 bulan (termasuk membutuhkan surat rekomendasi dari Kabupaten dan Provisi bagi Lembaga yang beroperasi di tingkat daerah). Misalnya, Dompet Dhuafa punya 5 program donasi, maka membutuhkan 5 izin. Padahal dalam situasi-situasi krisis dan darurat dibutuhkan reaksi cepat untuk menyalurkan bantuan, sehingga tidak mungkin mengajukan izin terlebih dahulu.
Reporter: Shita Dewi (PKMK FKKMK UGM)
Reportase Festival Filantropi Showcase Hari ke-4
Dalam festival Filantropi ini, selain sesi kegiatandi dalam ruangan, terdapat pula beberapa booth dan panggung yang tersedia di halaman, kemudian kegiatan di luar ruangan ini disebut Showcase. Showcase merupakan platform yang menampilkan inisiatif filantropi inovatif melalui tampilan interaktif dan presentasi langsung. Showcase menghadirkan pertunjukan di panggung, storytelling, dan demonstrasi yang menghidupkan program berdampak.
Sementara itu, booth menyediakan ruang khusus bagi organisasi untuk menampilkan kontribusi, solusi, dan program mereka dalam mengatasi tantangan sosial dan lingkungan. Terdapat total 41 booth dari berbagai organisasi, seperti KitaBisa, Rumah Zakat, Wahana Visi Indonesia, Dompet Dhuafa, Tanoto Foundation, BAZNAS, dan lain-lain, dan semua menampilkan beberapa program unggulan, intervensi mau pun produk-produk yang mereka kembangkan.
Yayasan Sayap Ibu di Jakarta, misalnya, menampilkan beberapa produk buatan anak-anak disabilitas majemuk. Yayasan ini menyelenggarakan “sekolah” khusus bagi anak dari panti dan anak-anak non panti yang memiliki disabilitas majemuk dan mengajari mereka ketrampilan, misalnya membuat sabun alami, skincare alami, dan kerajinan tangan. Selain itu, mereka juga mengisi sesi talkshow bertajuk: “Disability is the new Superpower!”. Talkshow tersebut menampilkan anak-anak muda yang menyampaikan bagaimana upaya pemberdayaan anak dengan disabilitas membantu mereka untuk berdaya secara ekonomi sehingga bisa mandiri sudah tidak lagi berada di panti. Keterampilan yang dilatihkan pun bisa mencakup keterampilan yang memanfaatkan teknologi yang telah dimodifikasi sesuai kebutuhan mereka, misalnya seorang anak yang diajari menggunakan komputer khusus untuk mampu membuat akun di platform Canva.
Yayasan Gugah Nurani Indonesia, misalnya menampilkan program utama mereka di 11 provinsi dan 15 wilayah pemberdayaan masyarakat, berfokus pada anak-anak, yaitu (1) edukasi (penyediaan bahan ajar, peningkatan literasi dan pelatihan guru dan orang tua), (2) perlindungan anak (termasuk pendampingan kasus yang melibatkan anak), (3) ekonomi (misalnya membangun bank sampah), (4) tanggap bencana (penyediaan layanan psikososial pasca bencana untuk anak dan bantuan bahan ajar pasca bencana), serta (5) kesehatan (sanitasi dan air bersih, cek kesehatan dan edukasi gizi untuk anak). Yayasan ini menggunakan dana yang dikumpulkan dari masyarakat/donasi.
Bahkan lembaga pendidikan pun tidak ketinggalan. STIKES Bethesda YAKKUM Yogyakarta menampilkan program pelatihan untuk menjadi caregiver di Jepang bagi siswa/lulusan SMK jurusan Keperawatan yang tidak mampu meneruskan sekolah. Program ini terakreditasi Kemenkes dan diselenggarakan secara gratis selama 3 bulan (termasuk asrama untuk siswa) untuk kemudian disalurkan kerja di Jepang atau di Indonesia dengan ikatan dinas. Kegiatan ini didukung oleh Yayasan Tahija.
Program lain yang juga diangkat adalah Kelas Belajar Oky, sebuah program filantropi yang diprakarsai seorang ahli gizi yang menyediakan makanan tambahan untuk anak, dan mengadakan edukasi nutrisi kepada keluarga masyarakat marjinal (dalam hal ini: keluarga pemulung, buruh pengupas kerang, dan sebagainya) dengan menggunakan bahan yang mereka bisa dapatkan/beli dengan daya beli mereka yang sangat rendah. Mereka juga melakukan promosi kesehatan dengan cara melukis gerobak-gerobak sampahnya dengan pesan kesehatan, membuat barang bekas dari hasil sampah yg mereka daur ulang. “Kelas Belajar Oky” ini juga mengadakan program belajar dengan anak-anak dari keluarga pemulung ini yang dilakukan oleh para volunteer anak muda, dengan topik beragam (tergantung pada keahlian dari volunteer tersebut).
Festival Filantropi, sebagaimana layaknya festival umum, juga menyediakan pertunjukan seni dan budaya dari komunitas, anak muda, maupun influencer. Reportase: Shita Dewi (PKMK UGM)
SESI PARALEL XV: KOLABORASI SEHATKAN NEGERI: Mendorong Transformasi Sistem dan Layanan Kesehatan Lewat Dukungan dan Kolaborasi Sektor Filantropi
Hotel Borobudur, Jakarta, 8 Agustus 2025 – Sesi ini mengangkat peran filantropi dalam mentransformasi sistem dan layanan kesehatan di Indonesia melalui kolaborasi multisektor. Dengan menjawab tantangan poli krisis kesehatan dan menurunnya bantuan internasional, forum ini menggali solusi pendanaan inovatif, pendekatan berbasis komunitas, dan strategi kolaboratif untuk memperluas dampak dan keberlanjutan layanan kesehatan inklusif bagi semua.
Dalam sambutannya Trihadi Saptoadi (Wakil Ketua Badan Pengawas PFI dan Chairman of The Executive Board Tahija Foundation) menyampaikan bahwa filantropi berharap menjadi mitra sejajar dengan pemerintah. Yang menjadi kekuatan dan prioritas filantropi Adalah kelompok yang paling rentan, paling membutuhkan. Kedua, Gerakan filantropi biasanya sangat selektif, karena sumberdaya yang dimiliki tidak banyak. Ketiga, Gerakan filantropi juga dapat lebih inovatif, namun seringkali tidak dapat men-scale up dengan efektif karena intervensi di Lokasi yang berbeda membutuhkan model dan perencanaan yang berbeda.
Pembicara Utama Prof. Dr. R. Budi Haryanto, S.K.M., M.Kes (Anggota Dewan Pakar PFI dan Guru Besar Departemen Kesehatan Lingkungan Universitas Indonesia) menyampaikan bahwa status Kesehatan Indonesia masih buruk (beban ganda malnutrisi, kematian ibu dan kematian anak bila dilihat dari angka absolut, begitu pula penyakit-penyakit menular). Prof Budi menyampaikan, bahwa di Kesehatan ada dua jalur yang harus diperhatikan: (1) perawatan orang sakit, dan (2) pencegahan penyakit. Menurut observasi beliau, anggaran “Kesehatan” pemerintah saat ini 85% ada pada perawatan orang sakit, sementara hanya sisanya yang untuk pencegahan orang sakit. Oleh karena itu, butuh kekuatan filantropi untuk berkontribusi dalam penguatan layanan Kesehatan di Indonesia.
Sesi dilanjutkan dengan paparan strategic paper dari CISDI yang disampaikan oleh Diah Satyani Saminarsih (Founder and Chief Executive Officer (CEO) Centre for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI)). Diah menyampaikan bahwa adanya tren penurunan bantuan global sebesar USD18.7 miliar dibanding tahun 2023. Ketergantungan pada donor ini merupakan salah satu kelemahan dari sektor Kesehatan. Lingkungan filantropi di Indonesia juga bercirikan beberapa program yang tumpeng tindih, kurangnya transparansi dan akuntabilitas serta regulasi. Beberapa rekomendasi Diah Adalah (1) kolaborasi lintas sektor, (2) model pembiayaan yang inovatif yang perlu diujicoba, (3) Disain program dan pendanaan yang berkelanjutan, (4) advokasi untuk UU baru mengenai pemberian sumbangan dan (5) kerangka monitoring dan evaluasi untuk menjamin transparansi dan akuntabel.
Berikutnya berlangsung diskusi dengan para pembahas yang dimoderatori oleh Asteria Aritonang (Badan Pengurus Perhimpunan Filantropi Indonesia dan Resources Development and Communications Director Wahana Visi Indonesia (WVI)). Para pembahas terdiri dari Dr. Atiek Anartati, MPH & TM (Country Director Clinton Health Access Initiatives), dan Gigih Rezki Septianto (Founder & Executive Director WeCare.Id) dan Diah Satyani Saminarsih (CISDI).
Atiek menyoroti perlunya keterlibatan filantropi dengan prinsip co-design dengan pemerintah, kesinambungan kapasitas teknis dan manajerial untuk filantropi, serta kemitraan dengan kader dan tokoh Masyarakat untuk menjamin keberlangsungan. Diah sekali lagi menyoroti pentingnya prinsip co-design ini agar program yang dilakukan filantropi merupakan program yang bersifat jangka panjang. Di sisi lain, Gigih menyoroti bahwa tren penurunan crowdfunding domestic juga terjadi, bukan hanya penurunan tren donasi asing/global. Gigih melanjutkan bahwa upaya yg dilakukan WeCare misalnya Adalah melakukan crowdfunding juga dengan para pelaku usaha, namun ini juga memiliki tantangan tersendiri karena ada isu transparansi yang harus diatasi. WeCare juga mengobservasi bahwa adanya JKN sebenarnya telah menurunkan biaya katastropik untuk Kesehatan (termasuk untuk obat) namun kebutuhan terbesar saat ini bagi Masyarakat Adalah dukungan pendanaan untuk transportasi (to-from rumah-faskes).
Dalam sesi ini juga dilakukan beberapa upaya interaksi dengan hadirin, misalnya melalui survey Slido. Berdasarkan survey ke hadirin acara, 50% hadirin merasa yakin bahwa kolaborasi antara pemerintah dan mitra filantropi merupakan kunci dari potensi filantropi terhadap Kesehatan. Namun, sebesar 42% hadirin juga merasa bahwa fragmentasi program dan koordinasi lintas sektor lemah dan ini menjadi tantangan bagi filantropi. Beberapa inovasi dan strategi kolaborasi yang dianggap potensial oleh hadirin Adalah platform yang menghubungkan antara demand dan supply dari program dengan donor, dan perlu menampilkan pula dampak dan success story.
Reporter: Shita Dewi (PKMK FKKMK UGM)
SESI PARALEL XVI: INOVASI PENDANAAN “DARI DERMA MENJADI DAYA” Mengakselerasi Transformasi Skema Dukungan Filantropi Tradisional Menuju Investasi Berdampak Reportase
Hotel Borobudur, Jakarta, 8 Agustus 2025 – Sesi ini membahas transformasi ekosistem pendanaan filantropi dari skema tradisional menuju investasi berdampak. Dengan mengeksplorasi blended finance, crowdfunding, dan social impact bonds, forum ini menggali strategi kolaboratif dan kebijakan pendukung yang dapat memperkuat peran filantropi sebagai katalisator perubahan sosial yang lebih strategis, berkelanjutan, dan berorientasi hasil.
Pembicara Utama dalam sesi ini, Dickson Lim (Head Temasek Trust Foundation Advisors) menyampaikan tentang skema-skema pendanaan yang inovatif, misalnya pembiayaan untuk social enterprises yang memiliki impact yg terukur dan jelas, kemudian dikombinasi dengan Follow-on Funding. Skema ini semacam venture capital namun untuk social enterprises yang berpotensi memiliki impact, kemudian beberapa yang potensial (sudah menunjukkan impact yg diharapkan) kemudian diberi investasi tambahan sehingga social enterprises tersebut yang membuat mereka dapat melesat menjadi unicorn. Venture capital tersebut dibiayai oleh Kumpulan dari beberapa pendanaan filantropi, misalnya yg dikumpulkan oleh platfrom Myriad.
Selanjutnya, paparan tersebut ditanggapi oleh para pembahas, Veronica Colondam (Founder and CEO YCAB Foundation), Nancy Surachman (Country Lead of Sail Investments for Indonesia), Atika Benedikta (Executive Director, Indonesia Impact Alliance) dan Vikra Ijas (CEO Kitabisa). Sesi ini dimoderatori oleh Novi Meyanto (Wakil Bendahara Badan Pengurus Perhimpunan Filantropi Indonesia dan Associate Director PLUS – Platform Usaha Sosial).
Secara garis besar, diskusi ini menggarisbawahi bahwa inovasi tidak hanya dalam hal sumber dananya, melainkan juga cara pemanfaatannya. Veronica membahas skema micro-finance yg tersedia di Jakarta (untuk pemberdayaan ekonomi Perempuan) yang memiliki sifat dana bergulir (di-reinvetasi untuk program lain, yaitu Pendidikan). Hal ini dilakukan sejak 2012. Shifting dari pendanaan tradisional (one-time giving) bergeser ke investasi berdampak dengan menggunakan instrument social impact bond. Vikra menambahkan bahwa ‘roh’ dari KitaBisa Adalah ‘derma-bersama’. Tetapi ternyata KitaBisa sebagai crowdfunding retail (sekitar 95% penggunanya Adalah individu) melihat bahwa pemanfaatannya harus lebih inovatif. Oleh karena itu, KitaBisa melakukan cross-polination antar berbagai motivasi berderma tersebut agar pemanfaatannya bisa perpetual. Jadi misalnya dengan menggunakan dana tersebut sebagai trust fund yang return-nya di’wakaf’kan (wakaf uang). Nancy menyampaikan skema yang tersedia untuk Green Investment. Skema ini Adalah private credit/loan untuk Perusahaan yang berkomitmen untuk mengurangi deforestasi tetapi memiliki pendampingan pre-investment. Contohnya Adalah soft loan yg jangka pendek dengan bunga di bawah market dan cap nilai yg terbatas. Tujuannya Adalah supaya Perusahaan yang meminjam ini dibantu untuk mencapai suatu standar tertentu agar mereka bisa eligible untuk loan lain yang lebih besar dan berjangka panjang (biasanya ini termasuk persyaratan terkait emisi karbon dan kerja nyata dalam deforestasi). Atika membahas mengenai skema wholesaler blended finance yang ditujukan khusus untuk impact enterprises, artinya pendanaan yang tersedia Adalah untuk pelaku bisnis yang bersedia berinvestasi untuk mendukung social enterprises skala kecil. Dengan kata lain, skema mereka bersifat enabling the enabler. Para pembahas pada dasarnya menggarisbawahi dua prinsip penting dalam pembiayaan inovatif: yaitu co-create dan kolaborasi.
Reporter: Shita Dewi (PKMK FKKMK UGM)
Tag: SDG: 3, 10, 17