UNICEF, WHO, dan Mitra Pemerintah Bekerja Sama Dalam Kampanye Imunisasi Polio
“Assalamualaikum!” Suara Imran Nazmi, seorang tenaga kesehatan, memecah kesunyian pagi di Desa Suka Makmur, Kabupaten Aceh Tamiang. Dengan lantang dan nada suara yang menyiratkan situasi mendesak, Imran melanjutkan berbicara. “Polio muncul lagi! Penyakit ini berbahaya, gampang menular, dan bisa menyebabkan kelumpuhan seumur hidup. Padahal, polio mudah dicegah dengan vaksin.”
Selama beberapa tahun belakangan, Indonesia dapat dikatakan telah bebas polio. Namun, pada November 2022, wabah polio merebak di Pidie, Aceh. Penyebabnya adalah kombinasi berbahaya dari cakupan imunisasi yang rendah dan kondisi lingkungan yang tidak sehat. Pada 2021 di Aceh, hanya 50,9% balita yang menerima vaksin polio.
Segera setelah Pemerintah Indonesia menetapkan status wabah, UNICEF, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), dan mitra pemerintah melakukan aksi cepat tanggap untuk mencegah penambahan kasus. Tim-tim tenaga kesehatan pun turun ke masyarakat untuk mensosialisasikan informasi penting seputar polio dan mendorong keluarga untuk mendapatkan imunisasi bagi anak mereka. Vaksin polio, yang mampu menyelamatkan nyawa, tiba dengan cepat sehingga kampanye imunisasi polio dapat dilaksanakan dengan target sekitar 1,2 juta anak berusia di bawah 13 tahun di 23 kota/kabupaten.
Menjaga komitmen meski dihadang tantangan
Setiap hari, Imran dan tenaga kesehatan lain mengunjungi rumah-rumah untuk berdialog dengan anggota masyarakat. Komitmen Imran dan para rekannya tidak pernah goyah, meskipun ada kalanya mereka berhadapan dengan kondisi sulit – termasuk terkadang harus berjalan kaki melalui jalan berbatu, menembus hujan, dan melintasi area berlumpur.
“Kalau sedang musim hujan, saya harus membawa baju ganti kalau-kalau terperangkap di jalan karena longsor atau banjir,” ujar Imran. “Di sini, masih banyak warga desa yang melakukan BAB sembarangan, dan karena kebiasaan ini adalah salah satu penyebab penularan virus polio, kami harus bertindak cepat untuk memastikan anak-anak tidak terjangkit.”
Trisnawani, pengelola program imunisasi di Kota Langsa yang bertetangga dengan Kabupaten Aceh Tamiang, harus menempuh perjalanan laut dari rumahnya agar dapat mengikuti kegiatan kampanye imunisasi selama beberapa jam setiap hari.
“Menyeberang laut itu tantangan tersendiri, apalagi karena saya tahu tidak mudah untuk menghadapi para penghuni pulau. Tapi, motivasi saya untuk memberikan imunisasi polio kepada anak lebih besar dan kuat. Melindungi anak-anak dari polio rasanya seperti melindungi anak-anak saya sendiri,” katanya.
Sejak dulu, masyarakat Aceh enggan mendapatkan vaksinasi karena alasan agama dan karena kurangnya pengetahuan tentang penyakit-penyakit yang dapat dicegah oleh vaksin.
“Di Aceh, peran ulama atau pemimpin dayah di masyarakat sangat besar. Banyak orang yang meminta nasihat mereka mengenai baik dan buruknya imunisasi, atau bolehkah anak-anak diimunisasi menurut hukum Islam,” jelas Abdul Wahab, pemimpin Dayah Darul Fikri di Aceh Tamiang.
Sejak 2021, UNICEF menjalin kolaborasi erat dengan Himpunan Ulama Dayah Aceh (HUDA) untuk membangun kesadaran tentang COVID-19 dan imunisasi rutin. Berkat dukungan HUDA, tingkat penerimaan masyarakat terhadap imunisasi telah membaik.
Dalam kampanye imunisasi polio, UNICEF bekerja sama dengan para pemuka agama berpengaruh untuk menyebarluaskan informasi vaksin kepada para jemaat mereka di masjid, gereja, wihara, dan tempat ibadah lain.
Menurut penilaian situasi yang dilakukan UNICEF sebelum kampanye, alasan utama orang tua menolak imunisasi adalah ketakutan mereka terhadap efek samping. Sitti Saniah dan Nur Pradipta adalah dua orang ibu yang menolak mengimunisasi putri-putri mereka, hingga akhirnya mendapatkan penjelasan dari tenaga kesehatan di desa tentang penyakit yang dapat dicegah dengan vaksin dan cara-cara pencegahan penularan.
“Waktu anak saya demam setelah divaksin, saya ketakutan sampai akhirnya ketemu dengan tenaga kesehatan, dan katanya demam itu normal,” Nur bercerita. “Sekarang, saya mau anak-anak terus divaksin selama bermanfaat untuk mereka.”
“Karena polio, saya khawatir tentang masa depan anak-anak saya. Setelah mereka divaksin, saya lebih tenang rasanya,” ujar Sitti.
Selama periode kampanye, UNICEF menerjunkan Petugas Perubahan Sosial dan Perilaku (SBC Officers) yang sudah terlatih dalam menggunakan keterampilan komunikasi antarpersonal untuk berdialog dengan orang tua seperti Sitti dan Nur.
“Melalui pendekatan pengubahan sosial dan perilaku, kami ingin gunakan momentum ini untuk tidak hanya mencapai target imunisasi polio, tetapi juga menghentikan cakupan imunisasi rutin yang selama bertahun-tahun rendah di Aceh,” ungkap Emeralda Aisha yang ditugaskan menangani rumah-rumah tangga di Kabupaten Aceh Tamiang.
Upaya terkoordinasi di lapangan untuk melindungi nyawa anak-anak telah membuahkan hasil. Pada pertengahan Desember 2022, 77% anak yang menjadi target kampanye telah menerima imunisasi. Kampanye akan terus berlanjut hingga tahun mendatang, membawa harapan baru bagi anak-anak di Aceh akan masa depan yang bebas dari ancaman polio.
Sumber: unicef.org