Reportase Fornas 1 Filantropi Kesehatan Hari ke-2

Reportase

Reportase
Forum Nasional I Filantropi Kesehatan

“MENGGALI BERBAGAI DANA KEMANUSIAAN UNTUK PEMBANGUNAN KESEHATAN DI INDONESIA”

Rabu, 22 Juli 2020

Hari Kedua:
Filantropi Kesehatan di Indonesia : Studi Kasus


Sesi 1 Health Philanthropy For SDGs

Pembukaan dan Rangkuman Hari 1 (dr. Jodi Visnu, MPH)

Filantropi merupakan kegiatan yang didengungkan oleh Presiden pada 2017 yang perlu digunakan untuk mencapai tujuan yang ada di SDGs. Kemarin telah diaksanakan pemaparan materi oleh para narasumber mengenai filantropi yang dilanjutkan dengan diseminasi penelitian. Kemudian juga diikuti dengan pemaparan dari perwakilan Internasional yaitu dari Bill & Mellinda Gates Foundation serta Johnson and Johson. Pada hari kedua ini terdapat beberapa pembicara yang akan menyampaikan materi mengenai studi kasus filantropi kesehatan di Indonesia.

Peranan Filantropi dalam SDGs dan Aplikasinya di Era JKN (Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., PhD)

Hal yang perlu dicermati dalam konteks kini adalah mengapa filantropi perlu dikembangkan di era JKN terutama di saat pandemi COVID-19?. Kemudian dalam kebijakan pendanaan pembangunan kesehatan kuratif dan preventif: apakah filantropi sudah masuk didalamnya.

Hal berikutnya dari segi ekonomi Indonesia mengalami ketidaksesuaian antara GDP yang menunjukkan peningkatan, tetapi tidak diikutii dengan peningkatan penerimaan pajak.  Seharusnya jika GDP naik maka rasio penerimaan pajak juga naik. Kemudian, dari implementasi BPJS yang terus mengalami defisit terus menerus karena kelompok yang diharapkan yaitu PBPU kelas 1, 2 dan 3 dapat memenuhi penerimaan justru tidak memenuhi ekspektasi sehingga yang diandalkan adalah APBN. Dana PBI APBN sebagai tiang utama justru digunakan oleh masyarakat miskin namun justru dipergunakan oleh masyarakat yang mampu. Sehingga ada yang dikorbankan yaitu kebijakan kompensasi yang wajib dikerjakan oleh BPJS. Kemudian ke depannya harus dilihat, apakah APBN akan terus menjadi tiang utama atau ada sumber pendanaan lain di luar APBN. Tentu hal ini penting, karena APBN tidak akan cukup membiayai semuanya, selain itu penerimaan pajak yang rendah. Materi yang disampaikan oleh BAPPENAS kemarin menunjukkan bahwa potensi filantropi untuk pembayaan sangat bisa dipergunakan.

Peran Filantropi pada Manajemen Bencana (dr. Bella Donna, M.Kes)

Sebelum memulai materi inti mengenai filantropi dalam kebencanaan disampaikan pengantar mengenai apa itu filantropi, kemudian juga sedikit update mengenai situasi bencana non alam yaitu pandemi. Social distancing yang dibuka terlalu cepat menurut artikel ilmiah mengenai COVID-19 mengakibatkan tinggi kasus yang kira – kira pemulihannya membutuhkan waktu hingga 2022.

Bencana sendiri dibedakan menjadi bencana alam dan non alam. Disitulah peran filantropi bisa masuk karena adanya korban manusia, harta benda dan infrastruktur sehingga membutuhkan bantuan. Tahun yang akan di – highlight dalam materi ini adalah 2018, pada waktu tersebut merupakan keadaan yang berat bagi Indonesia karena mengalami bencana Gempa di Lombok, disusul tsunami yang terjadi Palu dan tsunami di Selat Sunda, Banten dan Lampung. Tim kebencanan dari FK – KMK UGM belum selesai menuntaskan penanganan gempa Lombok sudah disusul dengan tsunami Palu. Lalu belum sempat bernapas lega dan membaca situasi, disusul dengan wabah COVID-19.

Umumnya filantropi yang masuk untuk bencana  adalah untuk sektor pembiayaan, sumber daya manusia dan logistik. Kemudian kebutuhan lonjakan akibat bencana dan krisis kesehatan saat pandemi saat ini, dibutuhkan sistem, kapasitas SDM, infrastruktur, dan peralatan yang memadai. Data pengalaman Jepang di negaranya, ada pertanyaan ynag ditujukan kepada komunitas orang – orang yang selamat dari bencana. Ketika komunitas tersebut ditanya, siapakah yang menyelamatkan Anda saat bencana?. Tiga puluh persen (30%) menjawab diselamatkan diri sendiri, kemudian tiga puluh tujuh persen (37%) diselamatkan oleh orang terdekat, dan dua persen (2%) diselamatkan oleh petugas.

Peran filantropi saat bencana sesungguhnya ada pada masa tanggap darurat, hal tersebut dapat dibuktikan dari nilai bantuan yang diberikan pada saat bencana tsunami di Palu. Total sebanyak delapan milyar rupiah disalurkan untuk masa tanggap darurat. Harapannya filantropi bisa dipikirkan untuk jangka panjang dalam situasi pasca tanggap darurat karena recovery juga dibutuhkan. Bencana umumnya hanya berpilar pada kemanusiaan, filantropi  dan relawan. Peran-peran dari berbagai sektor seperti pemerintah, masyarakat, media, pelaku usaha dan akademisi yang disebut dengan Pentahelix.

Pada sesi ini banyak diskusi yang dilaksanakan antara pemateri dan audiens, salah satunya adalah bagaimana membuat masyarakat tidak ketergantungan pada bantuan yang diberikan, kemudian bagaimana mendorong pemerintah agar menciptakan kebijakan yang mendukung filantropi ini.

Philanthropy for Maternal and Child Health: Saving Lives at Birth (Agus Soetianto-Project HOPE)

Presentasi dari Project HOPE adalah sebagai kelanjutan dari materi yang diberikan oleh Johnson and Johsnson Foundation karena kedua lembaga ini saling bekerjasama dalam Proyek yang disebut “Saving Live sat Birth” yang dilaksanakan sejak  2013 hingga 2018. Tujuan dari proyek ini adalah memberikan kontribusi pada penurunan angka kematian dan kesakitan ibu dan anak. Mengingat tingginya Angka Kematian Ibu dan Bayi.

Tiga program yang dilaksanakan untuk mencapai tujuan tersebut adalah peningkatan kapasitas SDM, akses serta pengetahuan dan praktik hidup sehat pada wanita usia reproduksi. Secara lebih rinci peningkatan kapasitas yang dilakukan adalah pelatihan tenaga kesehatan dalam asuhan persalinan normal dan kegawatdaruratan, pelatihan kader posyandu, pendampingan pelaksanaan posyandu dan kelas ibu, kemitraan bidan desa dan dukun bayi dan lokakarya kepemimpinan strategis tingkat kabupaten dalam penyelamatan ibu dan anak di kabupaten Serang. Hal ini dilaksanakan karena ingin memperkuat linkage  antara komunitas dan pelayanan kesehatan untuk meningkatkan kualitas SDM tenaga kesehatan dan meningkatkan demand dari masyarakat supaya providernya sendiri mampu untuk melakukan pelayanan yang bersifat kegawatdaruratan.

Melalui kegiatan ini Angka Kematian Ibu dan Bayi di Kabupaten Serang dapat diturunkan. Pada 2013 saat pertama kali dilaksanakan, angka AKI menyentuh 389 kemudian pada  2017 berhasil diturunkan menjadi 149. Begitu juga dengan AKB, berhasil menekan AKB dari 57 hingga 27. Secara kualitas, dampak yang dihasilkan adalah Posyandu yang lebih cepat merespon, kader yang lebih kompeten dalam memberikan edukasi, dan lebih ramah. Demand dari masyarakat juga meningkat sejak adanya program tersebut karena respon yang cepat.

Manajemen Filantropi pada Pasien Kanker (Dr. Dra. Sunarsih, Apt – Yayasan Kanker Indonesia)

Yayasan Kanker Indonesia adalah lembaga yang memiliki misi sosial dalam kepedulian terhadap kanker, dari sisi promotif, preventif dan suportif agar pasien kanker dapat sembuh dengan tuntas. Dukungan promotif umumnya dilaksanakan dengan memberikan penyuluhan, talkshow dan seminar. Secara preventif dilaksankan dengan deteksi dini kanker leher rahim dan payudara. Sedangkan dalam langkah suportif ada paguyuban pasien, ostomi, rumah singgah pasien dari luar kota. YKI mendapatkan dana untuk memberi dukungan pada pasien dalam program – program tersebut dari dana – dana yang dikumpulkan dari donatur, kegiatan penggalangan dana yang pernah dilaksanakan antara lain adalah malam galang dana yang dihadiri oleh figur publik yang menjadi penyintas kanker, kemudian juga konser amal. Selain dari acara – acara tersebut terdapat bantuan dari individu. Selain itu kemitraan yang dilakukan oleh YKI dalam mengerjakan program – program tersebut dengan menggandeng universitas, masyarakat, pemerintah, rumah sakit, dan komunitas PKK.

Masalah yang umum muncul dalam pengobatan kanker adalah tempat untuk tinggal, terutama untuk pasien yang berasal dari luar kota. Tidak adanya yang mengantar, jauh dari rumah sakit dan transportasi yang kurang menjangkau. Hal – hal ini tidak di – cover oleh BPJS sehingga YKI berusaha menutup celah tersebut dengan membantu pembiayaan hal – hal tersebut dan menyediakan rumah singgah. Selain itu masalah lainnya diluar pengobatan adalah psikologis dari pasien yang merasa malu untuk bermasyarakat karena kondisi fisiknya yang gundul selepas kemoterapi, merasa tidak punya teman sehingga kami juga menyediakan wadah pada paguyuban agar sesama penyintas maupun pasien dapat bergaul dan merasa termotivasi.

Filantropi pada Dengue Research Project (Widi Nugroho)

Pemaparan ini adalah kelanjutan dari materi mengenai Project Venture Philanthropy Journey and Dengue oleh Yayasan Tahija. Seperti yang telah disampaikan pada sesi sebelumnya, teknologi yang diadopsi untuk mengatasi persoalan Demam Berdarah adalah Teknologi Wolbachia. Milestone yang telah dilalui oleh Universtias Monash sebagai penemu, yaitu menemukan latar belakang Teknologi Wolbachia, kemudian pada Fase 1 pada 2011 hingga 2013 adalah melakukan studi keamanan dan studi kelayakan mengenai Wolbachia. Kemudian di fase kedua pada 2013 hingga 2015 dilakukan pelepasan skala kecil untuk memberikan bukti bahwa Wolbachia dapat memblokade penyebaran virus yang ditularkan dari nyamuk. Pada Fase 3 dilakukan pelepasan skala besar untuk mengumpulkan bukti dari dampak Wolbachia dalam menekan angka Demam Berdarah di Yogyakarta pada 2016 hingga 2020. Ketiga Fase ini dilaksanakan setelah diadopsi oleh Yayasan Tahija, dan pada tahap keempat harapannya dapat diadopsi dalam bentuk kebijakan serta peningkatan implementasi.

Peran Filantropi dalam Surge Capacity: Apa yang Kita Petik dari COVID-19 (Ini Luh Putu Eka Putri Andayani, SKM, MPH)

COVID-19 adalah penyakit yang baru sehingga belum banyak pengetahuan mengenai itu, tetapi untuk saat ini kita bisa mengakses artikel – artikel hasil penelitian yang bisa dicari melalui mensin pencari. Sistem kesehatan di banyak nega mengalami collapse karena tidak siap menghadapi lonjakan pasien. Surge Capacity sendiri adalah sebuah kemampuan untuk menyiapkan SDM dalam pelayanan untuk memenuhi lonjakan kasus sejak COVID-19 ditetapkan sebagai bencana nasional.

Tantangan dari rumah sakit di Indonesia adalah soal hospital disaster plan yang telah disiapkan tentu akan berbeda untuk bencana seperti COVID-19 yang berbeda jauh dengan bencana alam. Selain minimnya pengetahuan, juga kebijakan, peraturan, pedoman, standar yang cenderung reaktif dan supply logistik yang jauh dari permintaan. Salah satunya terjadi kelangkaan APD karena harganya yang menjadi sangat mahal dan belum tentu ada suplainya atau kalaupun tersedia tidak boleh dibayar belakangan.

Pandemi ini membuat APBN/D melakukan realokasi anggaran, penghasilan RS yang diandalkan yaitu dari operasional menurun karena kunjungan pasien juga menurun. Begitu pula dengan hasil kerjasama yang mungkin menurun karena ada penurunan volume kegiatan, namun disisi lain hibah atau sumbangan menjadi meningkat.

Peran masyarakat dalam kegiatan kemanusiaan saat bencana COVID-19 antara lain adalah mengumpulkan dana maupun APD. Seperti yang dilakukan oleh penyanyi Alm. Didi Kempot, kemudian dalam regional Daerah Istimewa Yogyakarta juga terdapat SONJO atau Sambatan Jogja yang didirikan untuk mengatasi hambatan ekonomi masyarakat selama COVID-19 dengan konsep gotong royong. UGM sendiri melaksanakan webinars-zoom meeting gratis, pelatihan bersubsidi dan penelitian terkait COVID-19.

Bersumbangsih untuk sesama (Andry Zulman, SH., MM., CLA – Yayasan Buddha Tzu Chi)

Materi yang disampaikan oleh narasumber secara obyektif adalah latar belakang Yayasan Buddha Tzu Chi, kemudian kontribusi yang diberikan dalam program kesehatan. Lembaga ini berdiri karena Guru Dharma Master Cheng Yen menemui sebuah kasus dimana seorang perempuan yang hamil ditandu selama 48 jam kemudian sesampainya di rumah sakit ditolak karena tidak bisa membayar dana awal atai down payment. Setelah kejadian tersebut pendiri mendirikan lembaga ini dengan nilai – nilai cinta kasih.

Kontribusi yang dilaksanakan oleh Yayasan Buddha Tzu Chi di Indonesia adalah dengan menyediakan pelayanan kesehatan yang tidak pernah menolak pasien di Rumah Sakit Cinta Kasih Tzu Chi di Cengkareng dan akan menambah jumlah rumah sakit. Selain itu dalam kontribusi penanganan COVID-19 adalah dengan memberikan bantuan APD, Ventilator, Alat Tes Cepat, Disinfektan kepada seluruh puskesmas dan rumah sakit di 26 Provinsi di Indonesia melalui data yang dimiliki oleh Kemenkes RI agar tepat sasaran.

Filantropi Kesehatan dalam Karya Karitatif RS Keagamaan I (dr. Haripurnomo Kushadiwijaya, MPH., Dr. PH. – Yayasan Panti Rapih)

Pada sesi ini dijelaskan secara lengkap sejarah karya karitatif Rumah Sakit Keagamaan Katolik melalui perwakilan Yayasan Panti Rapih. Motivasi dari Kegamaan Katolik adalah menyempurnakan motivasi amal kasih Yahudi yang berdasar Ketaatan kepada Allah dan belas kasih kepada yang kurang beruntung. Bagi Katolik perbuatan amal kasih itu berlandaskan Wahyu maupun Akal. Seperti yang dicontohkan dalam Mateus 25:31-46 dan 2 Korintus 8:3-14 dan 9:11-12, serta Lukas 10:25-37.

Pelembagaan awal menurut sejarah, amanat dari Konsili Nicea Tahun 325 yang pada waktu itu sumberdayanya adalah pertanian, donasi warga mampu dan harta warga yang memasuki kehidupan biara. Keuskupan mengorganisasikan pelayanan melalui Deaconess. Tarekat – tarekat menyelenggarakan pelayanan orang sakit dan menderita. Kemudian di Indonesia, sempat terjadi pembatasan beribadah saat masa kolonialisasi VOC dan Pemerintah Belanda. Sejak diperbolehkan lagi oleh Gubernur Daendels, masyarakat mulai melaksanakan peribadatan di Gereja Katolik kemudian Misi Katolik mulai diperbolehkan di Muntilan.

Sejak saat itu pelayanan kesehatan oleh Rumah Sakit Keagamaan berjalan, salah satunya dengan dirintisnya RS Carolus di Jakarta pada tahun 1919. Jaringan pelayanan tersebut diperluas dengan berdirinya RS Panti rapih pada 1921 oleh Tarekat Suster-Suster yang sama dengan RS Carolus.

Peran filantropi yang dilaksanakan antara lain adalah program kesehatan masyarakat, kesehatan ibu dan anak, program gizi, malaria dan pencegahan HIV serta Emergency Response Bencana Alam.

Filantropi Kesehatan dalam Karya Karitatif RS Keagamaan II (Min Adadiyah, SKM., MPH – RS PKU Muhammadiyah Temanggung)

Arus filantropi di Indonesia jika dilihat dari sejarah terdapat filantropi tradisional, organisasi masyarakat sipil dan organisasi sumber daya masyarakat sipil. Filantropi yang bersumber dari agama baik Islam maupun Kristen dikategorikan sebagai filantropi tradisional. PKU Muhammadiyah sendiri didirikan pada tahun 1012 oleh Pendiri Organisasi Muhammadiyah yaitu K. H. Ahmad Dahlan dengan nama Penolong Kesengsaraan Oemoem (PKO). Kemudian dikukuhkan sebagai bagian dari majelis PKO dengan program rumah sakit, rumah miskin dan rumah yatim sebagai tafsir amali Al-Qur’an dari Surat Al-Ma’un. Dasar bertindakdari filantropi juga dapat ditemui dalam 83 ayat di Al-Qur’an, salah satunya dalam At-Taubah ayat 103. Filantropi sebagai salah satu pilar dalam Agama Islam berbentuk dalam tindakan zakat yang wajib, kemudian shodaqoh, infaq dan wakaf sebagai bentuk tidak wajib. Sebagai filantropi yang dikenal tidak terikat dengan waktu, maka shodaqoh, infaq dan wakaf inilah yang dapat dimanfaatkan ke arah kesehatan. RS PKU Muhammadiyah Temanggung berdiri sebagai bentuk filantropi berjamaah.

Pada situasi saat ini yang mengharuskan rumah sakit mencari alternatif lain dalam pembiayaan, maka rumah sakit mengembangkan Unit Bisnis Strategic, Gidhza Care Center PKU dan mewadahi jiwa kerelawanan dari unsur masyarakat serta memberdayakan potensi relawan untuk menjadi pelaksana aksi sosial kesehatan atas nama rumah sakit serta melakukan advokasi.

Penutup

Setelah terlaksana Fornas hari kedua, pada 27 hingga 30 Juli akan dilaksanakan pemaparan makalah bebas dari peneliti yang mengajukan abstrak mengenai Filantropi Kesehatan. Kemudian pada  Agustus akan dilaksanakan Workshop Filantropi Kesehatan.

Reporter: Eurica Wijaya