Reportase Fornasi 1 Filantropi Kesehatan

Reportase

Forum Nasional I Filantropi Kesehatan
“MENGGALI BERBAGAI DANA KEMANUSIAAN UNTUK PEMBANGUNAN KESEHATAN DI INDONESIA”

Selasa, 21 Juli 2020

 Hari 1:

Tinjauan Umum Filantropi Kesehatan Indonesia


Pengantar

Forum Nasional I Filantropi Kesehatan ini diselenggarakan pada 21 dan 22 Juli 2020 secara online. Fornas ini dilaksanakan dengan judul, “Menggali Berbagai Dana Kemanusiaan untuk Pembangunan Kesehatan di Indonesia”, yang mana terkait dengan isu – isu pembiayaan kesehatan. Forum Nasional yang membahas mengenai filantropi baru dilaksanakan pertama kali si Indonesia dan diikuti oleh kurang lebih 300 pendaftar. Topik mengenai Filantropi ini juga terselenggara atas kerjasama antara Filantropi Indonesia, Tahir Foundation, Tahija Foundation, dan juga Johnson and Johnson dan beberapa pejabat yang concern terkait hal ini yaitu dari BAPPENAS dan Kemenkes RI.

Kegiatan lanjutan pada pekan depan yaitu pada 27-30 Juli, terdapat agenda pemaparan abstrak yang akan membahas berbagai macam makalah yang telah ditulis oleh para peneliti mengenai Filantropi. Kemudian pada Agustus juga akan diselenggarakan workshop secara online mengenai bagaimana cara mengembangkan cara taktis menggali dana-dana filantropi untuk pembangunnan kesehatan di rumah sakit. Harapannya ini menjadi momentum awal untuk menggerakkan dana – dana filantropi dengan cara yang sistematis, karena Indonesia masih tertinggal dari negara – negara lain soal pemafaatan dana filantropi untuk pembangunan kesehatan, pencapaian SDGs  dan alternatif pembiayaan dari BPJS.

Peserta dapat mengakses pada Website Filantropi Kesehatan (filantropikesehatan.net). Di dalamnya terdapat  program dan acara, dimana setelah selesai acara akan selalu diperbarui data – datanya. Sehingga peserta bisa melihat bahan – bahan seminar dari pemateri dan dipelajari secara mandiri. Semoga setelah acara ini bahasan ini akan berkembang pada tahun-tahun berikutnya dan Indonesia mendapatkan pembiayaan dari kanal-kanal filantropi.

Pembukaan Fornas

Pada kesempatan kali ini akan dilaksanakan diskusi dan sharing mengenai filantropi bersama semua narasumber yang hadir, sebagaimana yang disampaikan oleh Prof. Laksono bahwa acara ini baru pertama kali terselenggara di Indonesia. Dimana suatu forum membahas mengenai filantropi. KIta semua memahami kesehatan adalah tanggung jawab bersama, yaitu pemerintah tetapi juga semua yang memang membutuhkan kesehatan. Upaya menggiatkan filantropi beberapa tahun terakhir bukanlah hal yang mudah, dengan adanya Fornas Filantropi, bahkan workshop dan serangkaian kegiatan lainnya menunjukkan sinyal positif bahwa nilai filantropi di Indonesia mulai tumbuh. Seperti makna dari Filantropi itu sendiri, kita berharap manusia memiliki nilai kemanusiaan, yang bersedia dan senang hati memberi dalam bentuk tidak hanya uang tetapi juga waktu dan tenaganya untuk tujuan kemanusiaan.

Tantangan kesehatan di Indonesia jika dilihat tidaklah semakin ringan, tetapi semakin berat. Mulai dari penyakit menular, penyakit infeksius,  penyakit degeneratif dan penyakit – penyakit baru yang muncul akibat mutasi. Sehingga, pembiayaan kesehatan tidak bisa mengandalkan dari satu sumber yang kurang dari 4% dari anggaran negara yang mana jumlah itu sangat kecil. Usaha mulia yang dilakukan oleh penggagas dalam Forum ini untuk tidak hanya menyalahkan pemerintah tapi juga menggugah semua elemen di dalam masyarakat untuk tidak berpangku tangan, tetapi juga menyumbangkan semua baik tenaga, waktu maupun dana.

Kemudian berkaitan dengan pandemi COVID-19 saat ini, korelasinya dengan filantropi adalah peningkatan kapasitas bagi SDM. Harapannya dari forum nasional ini banyak inspirasi akan menggali banyak dana – dana, ide – ide dan usaha – usaha yang dapat disebarkan ke persada nusantara.


Diskusi Panel The State of The Art of Indonesian Philanthrophy (Filantropi Kesehatan di Indonesia)

Hamid Abidin, S.S., M.Si (Direktur Eksekutif Filantropi Indonesia)

Pada 2018 Indonesia menempati posisi pertama sebagai negara yang memiliki tingkat kedermawanan paling tinggi. Begitu pula pada Juni lalu Indonesia menjadi peringkat pertama menjadi negara yang paling dermawan menurut The CAF World Giving Indeks pada studi akumulatif yang dilaksanakan selama 10 tahun. Secara global posisi pertama ditempati oleh Amerika. Indonesia dianggap sebagai negara yang filantropinya paling berkembang (biggest risers).

Perkembangan Filantropi di Indonesia menurut sejarah, berakar dan bersumber dari ajaran agama dan tradisi lokal. Seperti di agama Islam yang memiliki ajaran Zakat, Infaq dan Sedekah lalu pada agama Kristen dan Katolik terdapat ajaran perpuluhan dan kolekte. Begitu juga tradisi di Indonesia yang mengenal jimpitan, panelek dan tradisi berderma yang mendukung filantropi di Indonesia. Inilah yang menyebabkan rate of giving Indonesia tinggi, menurut riset yang disebutkan sebelumnya sebesar 99,8%, jumlah sumbangannya juga cukup tinggi. Penggunaan dana filantropi yang tadinya memiliki ruang lingkup di sekitar kebencanaan dan agama, kini mulai meluas seperti ke tujuan pemberdayaan ekonomi, perlindungan perempuan dan anak, advokasi hukum  dan anti korupsi. Hal ini berpotensi juga untuk lebih meluas penggunannya bagi kesehatan. Metode yang digunakan saat ini juga berkembang, seperti berdonasi melalui SMS, berdonasi melalui kembalian belanja hingga berdonasi sambil menonton video. Peran dari generasi milenial dalam ruang lingkup filantropi juga berkembang, karena mulai banyak generasi ini turut membentuk komunitas berbagi. Selain itu, perkembangan teknologi saat ini juga mendukung filantropi untuk melakukan transformasi dari filantropi konvensional menuju digital. Filantropi Indonesia telah melaksanakan riset mengenai kesiapan lembaga zakat, infaq, sedekah menghadapi dunia digital. Hasilnya menunjukkan bahwa lembaga-lembaga ini mulai menggeser cara filantropi dari yang konvensional ke digital. Hal tersebut terlihat dari dukungan teknologi untuk melaksanakan crowdfunding. Skema dukungan filantropi saat ini juga mulai bertambah, yang tadinya hanya hibah saja menjadi meluas ke pembiayaan dan juga investasi.

Dari data yang ada, potensi filantropi di Indonesia masih banyak yang belum tergali pada realisasinya dan juga dominasi filantropi di Indonesia masih berasal dari keagamaan. Filantropi Indonesia sendiri baru memiliki data yang berasal dari organisasi keagaaman Islam, tetapi belum memiliki data lain yang berasal dari organisasi keagamaan Hindu, Buddha, Katolik maupun Kristen.

Pelaku Filantropi dapat digolongkan ke dalam tiga bentuk, yaitu donatur yang bisa berasal dari institusi maupun individu, kemudian perantara atau intermediary, dan pelaksana. Fungsi – fungsi ini yang harus dipahami jika akan mengembangkan kegiatan filantropi.

Isu yang didukung dalam lembaga filantropi belum banyak bergeser ke kegiatan yang sifatnya stratejik seperti seni, advokasi. Isu – isu yang umumnya dibiayai oleh dana filantropi adalah pendidikan (26%, kesehatan (18%), penyantunan (15%), emergency (10%) dan ekonomi produktif (10%).  Pola pengelolaan program juga memiliki dua tipe, ada yang dikerjakan sendiri dan kerjasama dengan pihak lain.  Selain pada isu – isu yang disebutkan, filantropi kini juga mulai diarahkan untuk mencapai target SDGs.  Tujuan SDGs yang paling banyak didukung oleh lembaga filantropi adalah kesehatan, pendidikan, pengentasan kemiskinan, air bersih dan sanitasi yang layak, dan pekerjaan dan pertumbuhan ekonomi yang layak. Terakhir yang perlu menjadi masukan adalah dukungan dan kemitraan Pemerintah agar kedepannya ada iklim dan kebijakan yang lebih kondusif, peningkatan kapasitas dan akuntabilitas organisasi, pendidikan bagi donatur, dan membantu sinkronisasi pengembangan dan keberlanjutan program melalui kebijakan dan adaptasi program.


Landskap Filantropi Kesehatan di Indonesia : Potensi dan Tantangan

dr. Jodi Visnu, MPH

Gambaran ekonomi Indonesia saat ini sedang menghadapi masa yang sulit, karena ada kesenjangan antara pertumbuhan GDP dan rasio pajak. Hal tersebut berdampak pada menurunnya share GDP pada sektor kesehatan. Pada sepuluh tahun terakhir 3.5% GDP untuk kesehatan menurun hingga 3.2-3.3%. Sejak BPJS didirikan pada 2014 dan era JKN diterapkan tidak menambah prosentase dari GDP sehingga mengalami kondisi defisit. Hal tersebut membuat BPJS bervariasi dengan membuat program donasi JKN-KIS.

Melalui Peraturan Presiden No. 59 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau SDGs, Presiden mendukung filantropi sebagai salah satu alat untuk membantu sektor kesehatan. Hal tersebutlah yang melatarbelakangi riset yang menginisiasi klaster kesehatan ini dilaksanakan, yaitu untuk memetakan aktivitas lembaga filantropi ndonesia. Selain itu, juga meneliti peran institusi non pemerintah dan potensi filantropi kesehatan dan tantangan yang dihadapi.

Konsep sistem pembiayaan kesehatan dari lini pelayanan primer dan pelayanan rujukan mendapatkan banyak dukungan, mulai dari dana yang berasal dari masyarakat secara langsung, BPJS, selain dari dana – dana ini diharapkan ada dana dari sektor lainnya yang dapat membantu APBN/D dalam pembiayaan kesehatan. Harapannya filantropi bisa mengisi alternatif pembiayaan tersebut dalam indirect cost, yaitu pada biaya yang diluar dari tindakan medis seperti rumah singgah yang diperuntukkan bagi pasien kemoterapi dan penunggu yang berasal dari luar kota, biaya penunggu pasien.

Riset ini memetakan adanya dua jenis pelaku filantropi, yang pertama adalah individu dan yang kedua adalah institusi. Pada jenis pelaku filantropi individu tidak dilaksanakan penelitian lebih lanjut karena tracking dan pendataannya lebih sulit, sehingga riset lebih berfokus pada ppelaku filantropi dari institusi. Ada sebanyak 117 institusi yang melaksanakan kegiatan filantropi kesehatan, 41 diantaranya berasal dari korporasi dan 76 institusi berasal dari non korporasi. Lembaga non korporasi memiliki banyak bentuk, yaitu lembaga berbasis korporasi, keluarga, keagamaan dan independen. Persebaran institusi tersebut didominasi di daerah DKI Jakarta.

Institusi pelaku filantropi kesehatan di Indonesia juga dapat dipetakan, yang terdiri dari grantor (pemberi dana), intermediary (pengumpul dana) dan implementer (lembaga yang berhadapan langsung dengan penerima manfaat) . lembaga intermediary saat ini tersedia dengan bentuk situs – situs crowdfunding. Aktivitas yang lebih dominan adalah yang sifatnya promotif, preventif dan kuratif, sedangkan kegiatan yang sifatnya rehabilitatis, suportif dan paliatif kurang mendominasi. Fokus kegiatan yang ada terdiri dari program peningkatan gizi, kesehatan lingkungan, promosi kesehatan, penanganan penyakit, kesehatan ibu dan anak, infrastruktur kesehatan dan penanganan bencana.

Hal yang perlu dibedakan antara filantropi dengan charity adalah, filantropi adalah pemberian yang terorganisir untuk hal – hal yang stratejik dan juga berkelanjutan. Sedangkan charity adalah pemberian secara langsung yang umumnya digunakan untuk mengatasi gejala atau sesaat. Selain itu dari segi regulasi, Indonesia telah memiliki regulasi mengenai Undang – Undang Perseroan Terbatas yang mengatur soal Tanggung Jawab Sosial yang menjadi pembeda dengan negara lain.

Pesan yang perlu diingat, bahwa filantropi tidak digunakan untuk mengganti tempat dari BPJS melainkan kolaborasi antara donatur dan pemerintah.


Sesi Pembahasan
Filantropi di Indonesia dan di Masa Depan
Untung Suseno M.Kes (Analis Kebijakan)

Bagi sebagian orang tidaklah mudah untuk mengubah pola pikir bahwa harus kaya dulu baru berbagi, padahal aksi – aksi kecil yang seperti pendirian rumah singgah, biaya untuk penunggu pasien juga hal yang perlu diperhatikan. Setelah merekap materi dari dua pembicara sebelumnya sangat jelas mengenai jenis – jenis filantropi, bagaimana metode peberiannya dan jumlahnya, akan tetapi di sisi lain banyak rumah sakit yang belum melaksanakan filantropi. Ini juga menjadi kesulitan bagi rumah sakit untuk mengubah pola pikir, jika memang tidak mampu harus segera meminta pertolongan. Selain itu perlu juga adanya perencanaan yang tepat agar sasaran filantropi tidak hanya menyasar pada kesehatan yang berjangka pendek saja. Harapannya filantropi menjadi tren bagi masyarakat agar cakupannya lebih luas.

Pungkas Bajuri Ali, Ph.D mewakili Dr. Suharso Monoarfa (Bappenas)

Hal – hal yang perlu diperhatikan dari filantropi di Indonesia adalah bahwa kegiatan ini menjadi tradisi, namun yang menjadi pekerjaan rumah adalah pengorganisasian dari filantropi tersebut. Filantropi juga perlu diarahkan ke masalah – masalah kesehatan yang tidak selalu terekspos seperti COVID-19 saat ini, sebagai catatan agar tidak lupa bahwa Indonesia menjadi peringkat 3 di dunia untuk penderita TB, begitu juga dengan penyakit tropis seperti kusta yang tentunya membutuhkan sumber daya yang besar untuk menuntaskannya. Walaupun cukup tertolong dengan belanja kesehatan sebesar 5%, namun health expenditure Indonesia masih tergolong rendah di dunia yang artinya competing priorities masih rendah. Filantropi diharapkan bisa mengisi kekosongan pembiayaan pada kegiatan yang dianggap sulit didanai oleh APBN.

Tantangan dari filantropi antara lain menjaga kegiatan tersebut tidak anonim untuk pelaku individu, sedangkan untuk pelaku korporasi adalah mengubah bentuk filantropi agar tidak hanya berbentuk CSR saja. Harapan kepada Filantropi adalah agar dapat mendukung pencapaian target pembangunan nasional dalam RPJMN 2020-2024 maupun SDGs dan dilaksanakan secara integratif dan sistematis, transparan dan juga akuntabel.


Sesi 2 Sesi 2 Tinjauan Filantropi Kesehatan
Philanthropic Funding in Global Health
Arnav Kapur (Bill&Mellinda Gates Foundation)

 Penyampaian materi oleh Arnav Kapur mencakup empat hal, yang pertama adalah beban penyakit secara global, lanskap filantropi pada kesehatan secara keseluruhan, apa yang dilakukan oleh Bill&Melinnda Gates Foundation lakukan, dan yang keempat adalah respon terhadap COVID-19.

Pada kesehatan global terdapat hal yang disebut dengan beban global untuk penyakit dan beban tersebut mencapai angka yang cukup tinggi di negara – negara Sub-Sahara Africa dan Asia Selatan. Disability-adjusted life year atau DALY merupakan ukuran dari beban penyakit yang disebabkan karena penyakit, kecacatan maupun kematian dini. Pada negara Sub-Sahara Afrika angkanya menyentuh lebih dari 80.000 DALY per 100.000 jiwa, sedangkan angka DALY yang di Eropa dan Amerika Utara sangat kontras, yaitu kurang dari 2500 jiwa per 100.000. Penyebab angka kematian pada negara – negara yang berpenghasilan rendah pada 2016 antara lain karena penyakit menular, masalah kesehatan ibu, kesehatan kehamilan dan kelahiran dan defisiensi nutrisi. Hal tersebut berbeda dengan negara – negara yang berpenghasilan menengah ke atas, umumhya kematian disebabkan karena infeksi saluran pernapasan bagian bawah dan penyakit degeneratif.

Pada sektor filantropi Bill&Mellinda Gates Foundation kesehatan secara umum dan kesehatan reproduksi menjadi fokus dalam kegiatan filantropi yang dilakukan, kemudian diikuti dengan pertaian, perbankan dan pembiayaan dan lain – lain. Pemberian yang diperuntukkan untuk masalah kesehatan memiliki ruang – ruang tidak terisi dikarenakan melihat dari karakter dari negara – negara tersebut beserta kegiatannya. Saat ini negara – negara yang menjadi sasaran adalah Afrika (24%) dan Asia (13%) untuk aktivitas yang spesifik. Kegiatan filantropi untuk masalah kesehatan ditargetkan pada penuntasan penyakit menular yang memiliki porsi terbesar, kemudian kesehatan reproduksi dan perencanaan keluarga, pelayanan dasar kerhatan, penelitian medis, dan edukasi kesehatan. Lembaga yang mendukung kesehatan global tersebut antara lain Bill & Melinda Gates Foundation, Susan T. Buffet, CIFF, Welcome Trust dan lain-lain.

Ruang lingkup yang dilakukan BMGF anatara lain adalah bekerjasama dengan organisasi partner di seluruh dunia untuk mengurangi kesenjangan, menghilangkan hambatan dalam hidup yang produktif dan sehat. Secara rinci pendanaan yang dilaksanakan terbagi menjadi 6 divisi diurutkan dari yang paling banyak kuantitasnya, yaitu Pengembangan Global, Kesehatan Global, Pertumbuhan dan Kesempatan Global, Program United States, Kebijakan dan Advokasi Global, dan lain – lain. Perwujudannya antara lain pada area – area seperti penanggulangan HIV, perencanaan keluarga, tuberkulosis, malaria, dan lain – lain.

Terakhir, yaitu pada respon terhadap COVID-19, hal yang dilakukan per Januari oleh BMGF diwujudkan dengan program – program yang berfokus pada perlindungan bagi pihak – pihak yang rentan, percepatan deteksi dan karantina dari virus, mengembangkan perawatan dan vaksin, meminimalisir dampak sosial dan ekonomi.

Mara Chiorean (Johnson and Johnson)

Johnson dan Johnson selain sebagai perusahaan juga berusaha untuk menciptakan dampak secara sosial, pada usaha filantropi perusahaan sendiri mengeluarkan lebih dari satu juta dollar, namun pada yayasan yang dimiliki Johnson and Johnson memberikan lebih sedikit daripada itu. Misi yang diusung adalah berkomitmen untuk membantu memperpanjang harapan hidup dengan hidup lebih sehat. Esensi dari hidup yang terpenting adalah kesehatan yang mana berpengaruh dalam kehidupan bermasyarakat seperti yang dinampakkan oleh akibat pandemi saat ini bahwa kesehatan sangat penting.

Sasaran tanggung jawab sosial yang dilakukan antara lain adalah pasien, dokter, perawat, pekerja, komunitas dan pemegang saham. Aplikasi tanggung jawab tersebut ditujukan kepada penanggulangan masalah – masalah yang saling berkaitan, seperti akses kesehatan yang tidak didapatkan oleh 400 juta orang dan akses kesehatan yang terbatas untuk setengah populasi manusia. Hal ini disebabkan oleh kurangnya jumlah tenaga medis di lapangan. Perawat dan bidan umumnya menjadi garda depan untuk kesehatan di daerah yang kurang memiliki akses tersebut, sehingga di titik inilah yang berusaha diberikan solusinya oleh Johnson and Johnson. Bentuk pemecahan masalah tersebut adalah dengan membentuk pusat untuk inovasi bagi tenaga kesehatan, penggunaan sdm di perusahaan untuk membantu kontribusi kesehatan dan respon cepat untuk orang yang berada dalam krisis kesehatan.

Pusat Inovasi untuk Tenaga Kesehatan menyasar perawat dan bidan, tujuannya untuk memberikan peningkatan kapasitas terkait dengan edukasi dan pelatihan, manajemen dan kepemimpinan, kesejahteraan dan ketahanan, koneksi dan integrasi serta penghormatan dan pengakuan.

Negara – negara yang menjadi sasaran Johnson and Johnson antara lain adalah Amerika Utara, Eropa, China, Timur Tengah, Amerika Latin, Afrika Timur, Asia Tenggara dan Afrika Selatan. Kemitraan yang dijalin dengan organisasi lain juga telah dilaksanakan dalam bentuk program multi tahun. Salah satunya adalah proyek jangka panjang bekerjasama dengan Kementerian Kesehatan China dan Akademi Pediatri Amerika untuk melaksanakan resusitasi pada neonatal yang mengalami asfiksia atau ketidakmampuan untuk bernafas pada bayi. Salah satu penyebabnya adalah karena ada larangan untuk meresusitasi bayi, dan hanya yang memiliki keahlian tertentu yang bisa melaksanakannya. Oleh sebab itu, proyek ini berfokus melatih para perawat agar dapat menolong bayi-bayi ketika asfiksia. Program yang dilaksanakan di Indonesia dilaksanakan secara kerjasama dengan Project HOPE yang akan menyampaikan presentasinya pada hari kedua secara lebih mendalam mengenai Proyek Saving Lives at Birth.  Tujuannya  untuk menyelamatkan nyawa dari ibu dan bayi dari kematian, karena tingginya angka kematian bayi dan ibu saat kelahiran, begitu juga untuk meningkatkan edukasi mengenai nutrisi. Selain itu peningkatan kapasitas untuk bidan juga diberikan untuk meningkatkan kemampuan yang dapat dinilai secara standar kesehatan yang ada.


Venture Philanthropy Journey to Create Sustainable Health Impact

Yayasan Tahija (Ir. Trihadi Saptoadi)

Yayasan Tahija didirikan oleh Julius dan Jean Tahija yang memiliki fokus untuk penuntasan masalah kesehatan. Sebagai yayasan yang melaksanakan Filantropi Ventura, Yayasan Tahija juga melaksanakan filantropi yang sifatnya konvensional. Artinya filantropi dilaksanakan pada kegiatan yang dapat dilihat dan hasilnya terukur, seperti pemberian beasiswa, pembangunan gedung sekolah dan operasi katarak. Selain filantropi konvensional, Yayasan Tahija juga melaksanakan filantropi yang hasilnya tidak mudah diukur seperti konservasi lingkungan berkelanjutan dan konservasi warisan budaya.

Melalui pengalaman tersebut Yayasan Tahija menjadi lembaga filantropi yang bergerak secara ventura. Sifat dari filantropi ventura ini adalah berisiko tinggi, memiliki probabilitas tinggi untuk gagal namun jika berhasil dapat memberikan dampak yang besar. Pelaksanaan eksperimen, riset dan inovasi dan pendekatan baru untuk masalah sosial adalah hal – hal yang umumnya jadi fokus kegiatan. Pada pelaksanaan filantropi ventura, pemberi dana umumnya juga tidak hanya pasif tetapi juga aktif terlibat dalam program dan harus terbiasa untuk mendukung proyek jangka panjang.

Pada 2004 Yayasan Tahija pernah mendanai program untuk mengontrol penyakit demam berdarah dengan menggunakan metode Targeted Source Reduction namun mengalami kegagalan. Kegagalan tersebut tidak menyurutkan semangat untuk menuntaskan masalah demam berdarah, dengan mengadopsi teknologi yang berbeda pada 2011 proyek multi tahun tersebut kembali terselenggara. Teknologi tersebut bernama Wolbachia Technology yang diperkenalkan oleh Universitas Monash pada World Mosquito Program untuk melawan ancaman penyakit yang disebabkan oleh nyamuk seperti Zika, Chikungunya dan Demam Berdarah. Tim yang bekerjasama dalam proyek ini antara lain adalah Universitas Gadjah Mada, Universitas Monash dan Yayasan Tahija.

Pendanaan proyek ini dilakukan dengan skema blended investment atau investasi campuran, yang melibatkan peran dari beberapa institusi pada setiap tahapan yang harus dilalui untuk mencapai tujuan dari proyek tersebut. Pada tahap riset berbasis laboraturium investasi diperoleh dari pendanaan publik, kemudian pada riset dan percobaan berbasis populasi digunakan sumber yang berasal dari filantropi, kemudian pada studi implementasi dilakukan pendanaan secara kolaborasi antara publik dan filantropi, kemudian ada kemungkinan pada tahap adopsi program dilaksanakan investasi oleh publik dan swasta.

Seperti  entitas bisnis, entitas filantropi juga menghadapi pilihan stratejik yang mana harus kembali didasarkan atas visi, misi dan nilai – nilai utama yang menjadi pilar utama, kemudian baru ditentukan kelompok sasaran, pilihan program, pilihan pendanaan campuran yang seperti apa dan pilihan model pelaksanaan seperti apa yang akan digunakan?. Setelah melewati itu semua harapannya program yang dilaksanakan dapat menimbulkan dampak yang berkelanjutan.


Kebijakan Filantropi dalam Kementerian Kesehatan

Sakri Sub’atmaja (Kasubdit Advokasi dan Kemitraan Kementerian Kesehatan RI)

Gambaran masalah kesehatan Indonesia yang dihadapi saat ini yaitu angka kematian bayi mencapai 24 per 1200 angka kematian, angka kematian ibu 305 per 100.000 per kelahiran hidup dan masalah stunting sebanyak 17.7 persen. Sementara infrastruktur yang lain belum bisa mendukung turunnya angka-angka tersebut secara masif. Penyakit – penyakit tidak menular seperti kanker, diabetes juga sulit untuk diatasi karena gaya hidup dari masyarakat, bahkan semakin meningkat. Kemudian juga ditambah dengan pandemi COVID-19 yang kurvanya tidak kunjung melandai karena perilaku masyarakat. Oleh karena itu kami harus bekerjasama dengan banyak pihak.

Kementerian Kesehatan telah berupaya untuk bekerjasama dengan banyak pihak berdasarkan landasan hukum yang telah ada, meskipun regulasi yang mengatur tentang filantropi itu sendiri belum dibuat.

Upaya filantropi di Kemenkes sendiri itu telah dilaksanakan, namun sifatnya masih sporadis dan belum terkoordinir dengan baik. Padahal ini potensi yang sangat baik untuk mengatasi persoalan kesehatan. Terkait dengan peran filantropi dalam Pembiayaan RPJMN 2020-2024 filantropi menjadi salah satu cara untuk eksplorasi sumber pendanaan baru dengan skema kerjasama pemerintah dengan badan usaha dan juga peningkatan peran swasta dalam kegiatan tanggung jawab sosial. Beberapa kali Kemenkes bekerja sama dengan sektor swasta dalam rangka penanganan bencana.

Tantangan yang dihadapi saat bekerjasama dengan sektor swasta dalam filantropi adalah soal transparansi dan akuntabilitas sehinga berulang kali Kemenkes perlu meyakinkan partisipan untuk tetap melaksanakan kegiatan filantropi. Hal ini berkaitan dengan perlunya diadakan peningkatan kapasitas untuk manajemen filantropi tersebut, ke depannya ini akan dikerjakan.

Situasi dan kondisi filantropi kesehatan saat ini tergambarkan dengan belum adanya kebijakan spesifik tentang filantropi di sektor kesehatan, terdapat beberapa peraturan perundangan yang perlu peninjauan kembali dalam rangka mendukung upaya filantropi berperan aktif dalam pembangunan, lembaga filantropi memiliki visi, misi, area program tertentu, serta wilayah fokus menurut geografis yang perlu pemetaan sehingga dapat diintegrasikan dengan program – program. Meskipun belum ada landasan kebijakan yang spesifik, namun pada praktiknya telah dilaksanakan untuk jangka panjang dan jangka pendek. Seperti yang dilaksanakan dengan BAZNAS, Dompet Dhuafa, Wahana Visi Indonesia.

Praktik yang telah dilaksanakan oleh Kemenkes RI dalam menangani wabah COVID-19 dengan 35 mitra yang dimiliki antara lain adalah edukasi, publikasi dan informasi, dukungan logistik, implementasi protokol, penggerakan masyarakat.

Hal yang bisa disimpulkan dari pemaparan ini adalah pada filantropi di bidang kesehatan telah dilaksanakan untuk mendukung pencapaian pogram prioritas nasional, kemudan perlu penataan kegiatan filantropi agar lebih terstruktur dan tepat sasaran. Serta perlunya ada regulasi dan memetakan program – program yang membutuhkan filantropi (berdasarkan lokus dan geografis) serta secara aktif menawarkan program tersebut kepada para filantropis. (Reporter: Eurica S)

Unduh Materi silahkan klik disini