Reportase Forum Nasional II Filantropi Kesehatan “Pendanaan Kesehatan Di Masa Pandemi COVID-19: Bagaimana Peranan Filantropi?” Selasa, 24 Agustus 2021

Reportase

Hari 1: Tinjauan Umum Filantropi Kesehatan Indonesia

Dokumentasi PKMK FK-KMK UGM “Forum Nasional II Filantropi Kesehatan”

Pengantar

Forum Nasional II Filantropi Kesehatan diselenggarakan pada 24 dan 25 Agustus 2021. Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D selaku penanggung jawab acara, menyampaikan bahwa Fornas kali ini terkait dengan COVID-19 yaitu “Pendanaan Kesehatan di Masa Pandemi COVID-19: Bagaimana Peranan Filantropi?” dan diikuti oleh kurang lebih 330 peserta. Selama ini yang kita ketahui pendanaan pemerintah di masa pandemi sering mengalami keterlambatan dan kesulitan dalam mobilisasi. Sehingga peranan filantropi saat ini sangatlah diperlukan untuk “Filling The Gap” dalam bentuk dukungan dana disamping keterbatasan yang dimiliki oleh pemerintah.

Sejak 5 tahun yang lalu didukung oleh Tahir Foundation, Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK-KMK UGM mengawali dengan adanya riset untuk memetakkan filantropi – filantropi di Indonesia. Dapat disimpulakan, bahwa gerakan filantropi di Indonesia belum terkelola dengan baik. Sehingga melalui kegiatan ini diharapkan (1) membuat manajemen filantropi menjadi lebih baik, (2) kebijakan – kebijakan pemerintah di bidang kesehatan semakin terbuka untuk pergerakan filantropi, dan (3) bagaimana memahami motivasi dari para filantropis di indonesia dalam membantu sesama yang membutuhkan.

Pembukaan Fornas

Selanjurnya Forum Nasional II Filantropi Kesehatan dibuka oleh Prof. dr. Ova Emilia, MMedEd., SpOG(K)., Ph.D sebagai dekan FK-KMK UGM. Filantropi khususnya di bidang kesehatan berperan penting terutama di masa tanggap darurat COVID-19 karena Indonesia saat ini masih memiliki keterbatasan kemampuan APBN. Sedangkan hampir sepenuhnya sektor kesehatan bertumpu pada dana APBN. Hal ini berdampak pada kecukupan anggaran kesehatan dalam memenuhi tingginya tuntunan pelayanan kesehatan di masa pandemi COVID-19. Filantropi tidak terlepas dari kedalam rasa cinta kemanusiaan, yang diharapkan dapat menjadi upaya dalam menggalang dana ataupun menginisiasi kegiatan sosial demi kemaslahatan masyarakat. Semoga semangat gotong royong dan solidaritas melalui forum filantropi kesehatan yang digiatkan bersama mampu menggenapi program pemerintah sekaligus menjadi kekuatan baru serta langkah nyata kepedulian dalam menghadapi kondisi darurat di masa pandemi COVID-19.

Diskusi Panel I

Sesi utama pada diskusi panel Forum Nasional II Filantropi Kesehatan dipandu oleh dr. Jodi Visnu, MPH dengan topik Tinjauan Umum Filantropi Kesehatan di Era JKN yang diawali oleh Wakil Mentri Kesehatan RI, dr. Dante Saksono Harbuwono, SpPD.-KEMD, Ph.D. Beliau memaparkan terkait dengan peranan sektor filantropi dalam penanganan COVID-19 di Indonesia. Seperti yang sudah dijelaskan oleh Prof. Laksono bahwa kemampuan negara dalam pembiayaan kesehatan sangat terbatas walaupun alokasi pendanaannya sudah sangat tinggi. Disampaikan bahwa terdapat tiga poin utama: teraupetik, vaksinasi, dan juga transformasi. Satu hal yang bisa dilihat dan digarisbawahi bahwa bangsa Indonesia menempati peringkat ke – 5 di dunia sebagai bangsa yang memiliki modal sosial tinggi. Terbukti adanya konstribusi anak bangsa, influencer, serta startup founder dalam mengupayakan ketersediaan oksigen di Indonesia melalui adanya oksigen konsentrator. Hal ini merupakan bagian dari proses filantropi yang diupayakan melalui platform urun dana dan wire tranfer yang bersifat terbuka (transparan). Hal ini terbukti efektif dan mampu menstabilkan kondisi saat ini sehinga mampu menurunnya angka kematian akibat kekurangan oksigen.

Pandemi COVID-19 telah menjadikan kesehatan sebagai prioritas utama yang menyadarkan kita akan pentingnya dalam melakukan reseliensi (ketahanan) di sektor kesehatan guna kesiapan sistem kesehatan di Indonesia untuk bertransformasi dalam sistem kesehatan nasional. Pihaknya juga memaparkan bahwa bangsa Indonesia yang memiliki modal sosial tinggi ini mampu menjadikan filantropi salah satu bagian penting dalam pembiayaan kesehatan nasional yang secara aktif diperankan oleh masyarakat. Harapannya kegiatan sosial kesehatan dapat diperankan secara utuh oleh seluruh elemen masyarakat agar sustain ke depannya sehingga dapat membantu pemerintah dalam meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat Indonesia.

Diskusi Panel II

Selanjutnya Ketua Badan Pengurus Yayasan Tahija, Ir. Trihadi Saptoadi, MBA memaparkan materi Implementasi Filantropi Kesehatan dalam Kinerja Organisasi. Kecepatan kemitraan, birokrasi, dan regulasi menjadi bagian penting untuk mendukung pergerakan dana filantropi agar dapat dimanfaatkan dengan baik terutama dalam menangani krisis pandemi COVID-19. Pandemi COVID-19 merupakan krisis ekonomi global dan bahkan telah menjadi krisis multi dimensi yang berdampak luas pada kehidupan sosial ekonomi kita. Dampak pandemi COVID-19 ini juga berdampak pada kinerja pada organisasi filantropi. Hal ini dikarenakan kemampuan mitigasi resiko yang terbatas, aksi kolektif dan kolaborasi yang tidak efektif, kecepatan informasi yang berhadapan dengan lambannya pengambilan keputusan, serta adanya kesenjangan. Sehingga pandemi ini memberikan dampak bagi filantropi: (1) Pola operasi atau program yang mengalami perubahan, (2) Sasaran bagi penerima manfaat filantropi, (3) Kemitraan, perlu adanya pemilihan mitra yang tepat sehingga mampu tanggap krisis secara cepat dan tepat, (4) SDM dan teknologi, serta (5) Pendanaan.

Rekomendasi dan pokok pikiran ke depan adalah: (1) melihat kembali target – target SDGs kita apakah masih realistis untuk ke depannya, (2) kebijakan, undang – undang dan regulasi yang memberikan ruang bagi filantropi baik formal maupun informal untuk tumbuh bersama, serta (3) strategi, beradaptasi dan inovasi pendanaan terhadap mitigasi resiko. Harapannya kesehatan dapat mendapatkan adanya kebijakan terkait dengan tax insentive, karena sampai saat ini insentif pajak hanya berada pada bagian penelitian dan pengembangan, pendidikan, dan juga olahraga.

Diskusi Panel III

Selanjutnya pemaparan materi Keterlibatan Filantropi dalam Program Pendanaan Masyarakat Peduli JKN oleh Prof. dr. Ali Ghufron Mukti, M.Sc., Ph.D., AAK, selaku Direktur Utama BPJS Kesehatan, dengan tagline “dengan gotong royong, semua tertolong” baik program formal maupun tidak formal. Program terbaru BPJS Kesehatan yaitu Program Inovasi Pendanaan Masyarakat Peduli JKN (PIPMPJ) yaitu gerakan gotong royong melalui partisipasi masyarakat, Badan usaha dan badan hukum lainnya untuk memberikan proteksi finansial dengan mendaftarkan dan membayarkan iuran masyarakat peserta JKN – KIS dan peserta PBPU dan/ atau BP Mandiri yang menunggak. Harapan dari adanya program ini adalah adanya konstribusi aktif dari seluruh elemen masyarakat dan pemangku kepentingan dalam program JKN. Selain itu, adanya sinergi antara BPJS kesehatan dengan pelaku filantropi kesehatan seperti Yayasan Tahija, melalui partisipasinya dalam program PIPMPJ dalam membantu pembayaran dana tunggakan iuran peserta JKN kelas III atau pada peserta yang menunggak lebih dari 3 bulan. Kesimpulan dari adanya partisipasi dan sistem gotong royong antara BPJS kesehatan dengan pelaku filantropi adalah demi terwujudnya perlindungan dan kesetaraan akses jaminan kesehatan.

Sesi Pembahasan/ Penanggap

Sesi pembahasan diawali oleh dr. Untung Suseno Sutarjo, M.Kes (pejabat fungsional Analis Kebijakan Ahli Utama) memaparkan bahwa filantropi berbeda dengan CSR. Jika kita lihat banyak sekali cara atau strategi filantropi melakukan perannya baik secara personal, crowdfunding, digital donation, dan lainnya. Terkait dengan tax insentive, untuk filantropi terdapat dua bagian yaitu tax exemption dan tax deduction yang mana dalam pelaksanaannya masih sulit. Sehingga perlu adanya perbaikan dalam perpajakan sehingga insentif untuk lembaga atau perorangan bisa maju dan lebih transparan.

Filantropi di era pandemi COVID-19 berbeda dengan masa non pandemi, filantropi banyak sekali bentuknya tidak hanya kesehatan, tetapi juga pendidikan, yang mana semua tergantung pada niat khusus atau kebutuhan akibat dari pandemi. Intinya filantropi dapat membantu pengembangan faskes maupun faktor sosial dalam keadaan normal maupun saat bencana. Adanya perbaikan sistem, regulasi yang lebih baik lagi juga sangat diperlukan agar terbentuknya jembatan antara filanropis dengan supplier maupun penerimanya. Pengelolaan filantropi memerlukan keterlibatan dari berbagai sektor agar dapat lebih baik, ketatm dan transparan, serta adanya badan atau agensi yang mampu memberikan solusi. Pentingnya pendidikan tentang manajemen filantropi akan melahirkan orang – orang yang cakap dalam menyusun proposal yang baik, asesmen terkait kebutuhan, dan lainnya.

Selanjutnya paparan dari Ketua Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI) yaitu dr. Kuntjoro Adi Purjanto, M.Kes, menekankan bahwa pada prinsipnya pelayanan kesehatan itu sangat fundamental. Saat ini kita dihadapkan pada Bumpy Recovery terus menerus dimana rumah sakit akan selalu mengalami kekurangan. Di era COVID-19 ini terjadi analisis paralisi baik itu distribusi maupun filantropis – filantropis rumah sakit itu sendiri, bagaimana kita bertahan hidup dan menghindari bahaya di pelayanan kesehatan agar akses dan mutu tetap terjaga dengan baik.

Sejalan dengan pemikiran dr. Untung, dr. Kuntjoro juga menekankan perlu adanya pendidikan atau program studi khusus manajemen filantropi agar bisa tercipta orang – orang yam mampu berfikir “be smart” tentu dalam meningkatkan upaya peningkatan kinerja pelayanan, kinerja keuangan serta manfaat dari sebuah rumah sakit dengan mengutamkan kualitasnya.

Sesi Diskusi

Peserta menyampaikan berbagai pertanyaan terkait dengan peran filantropi dalam pendanaan seperti PIPMPJ, pengelolaan potensi filantropi, pendanaan yang di – cover BPJS, serta adanya pertanyaan singkat yang diajukan oleh moderator terkait sektor kesehatan di Indonesia seusai pandemi COVID-19 di ke depannya, bagaimana kiranya semangat filantropi di sektor kesehatan indoinesia seusai pandemi COVID-19.

Ir. Trihadi menyampaikan bahwa bagi pelaku filantropi yang sudah terorganisir dengan baik, adanya pandemi ini akan mengubah pola berpikir mereka (kemitraan, pendanaan, dan lain – lain) serta mendapatkan pembelajaran sehingga ke depannya jika terjadi pandemi kembali akan lebih siap dan efektif dalam penanganannya. Dokter Kuntjoro juga menambahkan bahwa perlu adanya pembangunan trust agar apa yang diberikan dan diupayakan tetap efektif dan efisien tentu sesuai dengan apa yang dibutuhkan bersama. Profesor Ghufron juga cukup optimis dalam menanggapi kegiatan filantropis usai pandemi. Jadi kesimpulan dari bagaimana kiranya semangat filantropi di sektor kesehatan indoinesia seusai pandemi COVID-19 adalah perlu adanya pengembangan trust, partnership, good governance, dan juga sustainability sehingga filantropi tetap bisa berjalan seusai pandemi COVID-19.

Dokumentasi PKMK FK-KMK UGM “Sesi diskusi Tinjauan Umum Filantropi Kesehatan di Era JKN”

Reporter : Ainun Hanin Noviar


Sesi 2: Penelitian Empiris Filantropi Kesehatan di Masa Pandemi

Dok PKMK FK-KMK UGM “Sesi diskusi Tantangan Pembiayaan Kesehatan di Tingkat Provider dan Peranan Filantropi dalam Surge Capacity

Sesi kedua dimoderatori oleh Dr. dr. Andreasta Meliala, DPH., M.Kes., MAS. Awal sesi dimulai dengan penyampaian terkait Tantangan Pembiayaan Kesehatan di Tingkat Provider yang disampaikan oleh Muhammad Faozi Kurniawan, S.E., Akt., MPH. Pada pemaparan materi ini disebutkan selama pandemi dil uar tantangan pembiayaan kesehatan terdapat juga tantangan pada  Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) dan ketersediaan SDM. Bagaimana FKTP tetap mampu memberikan pelayanan kesehatan masyarakat di luar pelayanan COVID-19 dengan keterbatasan kapasitas yang ada. Realisasi APBN pada Juli 2021 menunjukkan pendapatan semakin kecil sementara belanja semakin besar. Kondisi ini menuntut daerah mampu bersinergi untuk mengupayakan anggaran dalam mengatasi pandemi. Salah satunya dengan filantropi, pemetaan dana filantropi ini sangat dibutuhkan untuk daerah – daerah yang membutuhkan. Hal yang dikhawatirkan saat ini adalah banyak dana terserap untuk pembiayaan utang. Sementara ruang fiskal semakin sempit untuk pembiayaan utang dan ini berpengaruh pada pembiayaan pembangunan kesehatan. Dana filantropi merupakan salah satu upaya pendanaan yang dapat dimaksimalkan di daerah.

Selanjutanya Ni Luh Putu Eka Putri Andayani, SKM., M.Kes. memaparkan materi Peranan Filantropi dalam Surge Capacity: Apa yang Kita Petik dari COVID-19? Surge capacity memerlukan strategi berdasarkan dengan jenis bencana yang terjadi. Misalnya pada kondisi pandemi strategi surge capacity dalam meningkatkan kapasitas harus memperhatikan pencegahan penularan. Pada 2020 PKMK melakukan studi dokumentasi dengan menggunakan kerangka konsep 4S (komponen surge capacity). Dalam penelitian tersebut, disimpulkan jika situasi pandemi tidak dikendalikan maka dengan proyeksi yang dilakukan, kapasitas RS rujukan COVID-19 pada akhir 2020 tidak akan mampu untuk menangani lonjakan kasus. Saat lonjakan kasus pada 2020 terjadi, mulai muncul gerakan gerakan dari swasta dan masyarakat menyalurkan bantuan kemanusiaan untuk memenuhi kebutuhan faskes. Hal tersebut cukup besar pengaruhnya untuk penanganan COVID di DIY. Demikian halnya saat lonjakan kasus dan angka kematian semakin tinggi pada 2021, volunteerism juga semakin meningkat dan banyak menggunakan platform yang secara modern. Bantuan dari masyarakat dan swasta ini harus diorganisir dan harus ada leader di semua level supaya kegiatan itu efektif dan dapat mencapai tujuannya.

Dok. PKMK FK -KMK UGM “Pemaparan materi Kesiapan Fasilitas Kesehatan dalam menghadapi Bencana Non-alam di DIY (kiri) dan Materi Dampak Pembatasan Sosial terhadap Kenaikan Kasus Kesehatan (kanan)

Pemaparan materi Kesiapan Fasilitas Kesehatan dalam menghadapi Bencana Non-Alam di DIY disampaikan oleh dr. Bella Donna, M.Kes. Akhir juni 2020 DIY sudah berada pada level community transmission 3. Daftar tilik dengan 12 indikator untuk melihat kesiapan rumah sakit dalam menghadapi bencana non alam sudah ada dari pusat, namun untuk puskesmas belum ada. Meskipun demikian, daftar tilik untuk puskesmas bisa disusun sendiri dengan berbagai referensi yang sesuai dengan situasi pandemi. Berdasarkan indikator pada  daftar tilik tersebut, rumah sakit paling tidak siap pada komponen kesehatan kerja, keselamatan mental dan bantuan psikososial. Namun paling siap pada identifikasi dan diagnosis yang cepat, PPI serta kesinambungan layanan dukungan. Sementara untuk puskesmas yang paling tidak siap adalah tim bencana dan kapasitas lonjakan. Hampir rata-rata puskesmas tidak memahami Rapid Health Assessment (RHA). Fasilitas kesehatan perlu memperkuat tim untuk melakukan perhitungan analisis dan mempersiapkan kapasitas masing-masing serta berjejaring untuk menghadapi dinamika dan lonjakan kasus.

Selanjutnya pemaparan materi Dampak Pembatasan Sosial terhadap Kenaikan Kasus di Fasilitas Kesehatan oleh Gde Yulian Yogadhita, Apt., M.Epid. Gde menekankan bahwa kebijakan pembatasan sosial mempengaruhi paradigma filantropi baik skala makro maupun mikro. Regulasi terkait dengan COVID-19 oleh pemerintah DKI dan DIY, maupun pemerintah pusat sudah ada dan cukup banyak diterbitkan terutama untuk mengatur pembatasan sosial baik itu pembatasan sosial skala besar (PSBB) maupun skala komunitas. Persepsi masyarakat terhadap regulasi dan pedoman yang dikeluarkan pemerintah cukup baik. Dari data hasil penelitian menunjukkan bahwa kebijakan pembatasan sosial yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat dan pemerintah  daerah  DIY dan Jabodetabek  mampu menekan tingkat kunjungan pasien selama Maret hingga Juli, terlihat bahwa tidak terjadi lonjakan yang ekstrim yang melampaui kapasitas kesehatan setempat. Sehingga selama belum terjadi lonjakan kunjungan pasien dengan pemberlakuan kebijakan pembatasan sosial, dapat memberikan waktu untuk pemerintah daerah dalam upaya menyiapkan kapasitas lonjakan (surge capacity) baik berupa memperbaiki maupun meningkatkan kapasitas layanan kesehatan. Filantropi bisa ikut di dalam penanganan dampak kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah.

Sesi Diskusi

Peserta menyampaikan berbagai pertanyaan dan lesson learnt berdasarkan pengalaman mereka di lapangan ketika terlibat dalam penanganan kasus COVID-19. Mulai dari bagaimana mekanisme filantropi untuk faskes, pemanfaatan dana filantropi untuk riset, bagaimana profiling kesiapsiagaan bencana secara nasional dan bagaimana pemberdayaan masyarakat dalam mengelola dana filantropi. Dalam mekanisme langsung untuk faskes perlu dibuat terlebih dahulu rencana aksi pembiayaan dan regulasi yang jelas. Charity dan filantropi sangat berbeda, harus dipetakan dengan definisi operasional yang kuat. Filantropi secara garis besar lebih terorganisir dan bersifat jangka panjang sementara charity lebih kepada gerakan – gerakan yang spontanitas dan sporadik. Jika di Indonesia jarang mendapati gerakan filantropi untuk riset, yang banyak itu dari salah satunya untuk riset misalnya Bill Gates. Bila pandemi COVID-19 sudah berakhir, filantropi tetap bisa berjalan sesuai dengan misi lembaga filantropi itu masing – masing.

Kebijakan terkait preparedness di tingkat nasional sudah banyak, namun implementasinya masih kurang. Tindak lanjut segera di RS dan puskesmas bisa menyiapkan dan menjangkau masyarakat. Menyiapkan perencanaan sebelum terjadi bencana sangat diperlukan, meski regulasinya sudah ada namun masih tetap terlupakan. Seandainya filantropi ini bisa dimasukkan dalam regulasi perencanaan dan ini akan semakin baik lagi. Kuncinya di perencanaan penanggulangan bencana atau rencana kontingensi baik itu di level puskesmas, rumah sakit dan dinas kesehatan. Kesiapan ini juga tidak bisa hanya di faskes tetapi bagaimana melakukan pendekatan kepada masyarakat sehingga mereka bisa lebih mandiri dan kuat.

Penutup

Tantangan pendanaan kesehatan di lapangan tidak hanya pada proses pengadaan tetapi juga pada mekanisme distribusi atau penggunaan. Bantuan yang bersifat charity dan filantropi harus mampu dipetakan. Koneksi filantropi dengan pemerintah dan faskes belum jelas karena lebih banyak yang bersifat jangka pendek. Sebaiknya ada unit yang mengorganisir ini semua, mengingat animo masyarakat sangat besar. Jika ada organisasinya maka perlu regulasi, sehingga bisa tetap transparan dan akuntabel sesuai dengan tata keloala yang baik. Dalam faskes itu sendiri, terdapat keterbatasan kapasitas sementara dampak kebijakan pembatas sosial berkaitan dengan kapasitas dari faskes. Artinya masyarakat yang berusaha untuk sembuh di luar faskes, bisa dijangkau dengan kegiatan – kegiatan filantropi. Koneksi antara masyarakat, filantropi. dan pemerintah harus terbangun dengan baik.

Reporter : Happy R. Pangaribuan

Divisi Manajemen Bencana Kesehatan PKMK FK KMK UGM


Dokumentasi