Reportase Sesi parallel: Urgensi Reformasi Regulasi Kebijakan menuju Ekosistem Filantropi yang Inklusif, Efektif dan Akuntabel

Reportase Sesi parallel: Urgensi Reformasi Regulasi Kebijakan menuju Ekosistem Filantropi yang Inklusif, Efektif dan Akuntabel

Reportase

Hotel Borobodur, Jakarta, 7 Agustus 2025 – Sesi ini mengangkat urgensi reformasi regulasi filantropi untuk menciptakan ekosistem yang inklusif, efektif, dan akuntabel di era digital. Dalam sesi ini, disoroti hal-hal seperti tantangan kebijakan terkini (contoh: sistem perizinan yang using), fragmentasi regulasi, dan perlindungan donatur, serta menggali solusi reformasi berbasis bukti untuk memperkuat transparansi, efisiensi, dan partisipasi dalam praktik filantropi nasional.

Kristianto Silalahi  (Badan Pengawas Perhimpunan Filantropi Indonesia) dalam sambutannya menyampaikan bahwa peringkat Indonesia sebagai negara dermawan turun dari nomor 1 (tahun lalu) menjadi nomor 21 (dari 101 negara yang disurvei oleh World Giving Report). Posisi nomor 1 saat ini diduduki oleh Nigeria. Walaupun, menurut estimasi, Masyarakat Indonesia menggunakan 1,55% penghasilannya untuk tujuan-tujuan donasi, lebih tinggi dari negara-negara ASEAN lain, dan lebih tinggi dari rata-rata dunia (1.05%).  

Pembicara Utama: Prof. Dr. Ir. R. Nunung Nuryartono, M.S. (Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kesejahteraan Sosial, Kementerian Koordinator Bidang Pemberdayaan Masyarakat, Republik Indonesia) mengakui bahwa UU Nomor 8 Tahun 1961 tentang Pengumpulan Uang dan Barang (UU PUB) serta PP Tahun Nomor 29 Tahun 1980 tentang Pelaksananaan Pengumpulan Sumbangan (PP PPS) sudah terlalu kuno dan ketinggalan jaman. Sementara di sisi lain, Inpres Nomor 8 Tahun 2025 mengamanatkan pemanfaatan dana non pemerintah untuk membantu upaya pemerintah mencapai tujuan-tujuan prioritas nasional. Filantropi, diakui Nunung, memiliki peran penting untuk menangani masalah sosual, membina inovasi sosial, membangun komunitas yang lebih kuat, melengkapi upaya pemerintah dan mendorong perubahan jangka panjang. Oleh karena itu, pihaknya menghimbau kepada DPR untuk merevitalisasi UU tersebut. Ada 2 hal lain disoroti oleh narasumber selain isu regulasi yangg usang, yaitu perlunya reformasi regulasi serta fragmentasi kewenangan antar lembag

Siradj Okta, S.H., L.L.M., Ph.D. (Dosen Universitas Katolik Indonesia (Unika) Atma Jaya) menyampaikan beberapa poin kunci dari perubahan yang harus dilakukan: UU bukan banya diperbaharui isinya, tetapi juga ‘roh’nya (dari yang sifatnya ‘pengawasan’ menjadi ‘ fasilitasi’). Contoh riilnya adalah penekanan reformasinya bukan pada “perizinan” dan distribusi dari donasi, melainkan “pendaftaran berbasis lembaga” dan penguatan ekosistem untuk filantropi.  Selain itu, penyesuaian dengan teknologi saat ini penting untuk diakui dan ditata, misalnya platform digital, fungsi OJK, dan sebagainya; perlindungan dan hak-hak donatur.   

Berikutnya, sesi diskusi dimoderatori oleh Sita Supomo (Direktur Eksekutif Indonesia untuk Kemanusiaan) dan menghadirkan pembahas yang terdiri dari  Arif R. Haryono  (General Manager Dompet Dhuafa), H. Marwan Dasopang, M.Si. (Ketua Komisi VIII DPR Republik Indonesia) dan Hamid Abidin, S.S,Msi. (Dewan Pakar Perhimpunan Filantropi Indonesia).
Arif menyoroti bahwa aturan tentang zakat bernafaskan: mempermudah pemberian, tetapi mempersulit penyaluran. Dengan kata lain, mayoritas mindset regulator adalah “semua pelaku filantropi tidak amanah”. H. Marwan menyambut positif urgensi revitalisasi UU PUB, dan menantang para hadirin untuk segera mengajukan draft RUU-nya. Marwan menitipkan bahwa UU PUB yang baru nantinya harus jelas mengatur transparansi dan akuntabilitas dari donasi dan filantropi yang dilakukan serta bagaimana mengukur dampaknya. Pihaknya juga menyinggung bahwa UU Zakat pun perlu diperbaharui. Selanjutnya, H. Marwan juga mengingatkan bahwa semua pihak harus menanggalkan egonya Ketika nanti menyusun draft RUU demi kepentingan bersama. Terakhir, Hamid menyoroti bahwa penyisiran terhadap hal-hal yang memberatkan perlu segera dilakukan. UU PUB sangat pendek, namun PP PPS sangat detail dengan klausul-klausul yang memberatkan dan tidak praktis/tidak mungkin dilakukan. Oleh karena itu, beliau usulkan agar reformasi pertama yang perlu dilakukan adalah mengganti PP PPS tersebut. Sebagai contoh, PP PPS meminta perizinan dari Kemensos untuk setiap program (bukan perizinan Lembaga) donasi/filantropi, dan ini prosesnya membutuhkan sekitar 2 bulan (termasuk membutuhkan surat rekomendasi dari Kabupaten dan Provisi bagi Lembaga yang beroperasi di tingkat daerah). Misalnya, Dompet Dhuafa punya 5 program donasi, maka membutuhkan 5 izin. Faktanya dalam situasi-situasi krisis dan darurat dibutuhkan reaksi cepat untuk menyalurkan bantuan, sehingga tidak mungkin mengajukan izin terlebih dahulu.

Reporter: Shita Dewi (PKMK FKKMK UGM)