Reportase Webinar Series Hari Ke-2 [Post Forum Nasional II Filantropi Kesehatan (Pendanaan Kesehatan di Kala Bencana: Bagaimana Peranan Filantropi?)]

Reportase

Pertemuan II : Selasa, 2 November 2021 -Pertemuan kedua Post Fornas Filantropi membahas bagaimana membangun semangat filantropi dalam ranah sumber daya masyarakat, bagaimana semangat filantropi dapat diterima dan diimplementasikan pada fasilitas kesehatan? Materi ini disampaikan oleh Dr. dr. Andreasta Meliala, DPH., M.Kes., MAS. Sebanyak 50 peserta yang mengikuti kegiatan berasal dari berbagai institusi, di antaranya rumah sakit (RS), universitas, serta non-government organization (NGO). Pada pemaparannya Andreasta menanyakan fasilitas kesehatan  mana yang membutuhkan dana? Dari penelitian yang pernah dilakukan, jika dibandingkan RS swasta rural dan urban yang membutuhkan dana lebih banyak adalah RS di daerah urban. Bagaimana dengan masyarakat di rural? “Mereka dibatasi oleh faktor geografis, namun jika membicarakan filantropi di rural lebih favorable dibandingkan RS di daerah urban.” Pertumbuhan RS di daerah rural jauh lebih rendah daripada urban. Terdapat titik keseimbangan antara mutu pelayanan rumah sakit dan biaya. Faktanya, kenaikan biaya sangat ditakuti oleh manajer fasilitas kesehatan, mereka berusaha seefisien mungkin untuk menjalankan pelayanan. Sementara mutu yang bagus tentu membutuhkan biaya yang tinggi. RS harus bisa menghitung cost dan tarif untuk BPJS sehingga mampu mengembangkan strategi pengelolaan dana filantropi. Ketika finansial rumah sakit bagus maka RS bisa bertahan. Finansial yang bagus dan bertahan jika eksternal customers (filantropis) senang atas pelayanan RS. Perlu diingat bahwa dana filantropi merupakan salah satu pilar untuk pengembangan RS sehingga dana filantropi ini masuk dalam bagian customer external.

Diskusi

Dalam diskusi ini peserta menanyakan bagaimana mekanisme penggunaan dana filantropi di RS dan strategi apa yang bisa dilakukan untuk mengembangkan dana filantropi. Misalnya terdapat kasus operasi yang besar dan membutuhkan biaya banyak, BPJS tidak bisa menanggung sementara dana filantropi juga tidak bisa langsung digunakan karena kendala di regulasi. Andreasta juga menyatakan memang ada beberapa regulasi yang menghambat penggunaan dana filantropi. Regulasi ini perlu ditinjau kembali. Apalagi faktanya RS tidak memiliki unit khusus yang meng – handle filantropi, diperlukan unit khusus yang mengatur filantropi, bagaimana membentuk unit ini, dan seperti apa model pengelolaannya. “Ini bisa menjadi langkah awal untuk pengembangan dana filantropi di RS,” paparnya. RS bisa memulai memetakan institusi yang bersedia menjadi pendonor, bisa juga bekerja sama dengan NGO.

Penugasan

Sesi penugasan ini menjawab pertanyaan siapa yang memegang peran filantropi dalam organisasi RS? Bagaimana implementasi semangat filantropi yang telah dilakukan oleh institusi? Peserta merespon dengan membentuk tim filantropi dari bidang manajemen atau fasilitas penunjang. RSUD Sleman memberi ide bahwa hal tersebut bisa melalui bagian rumah tangga (sebelum ada bagian aset).

Fasilitator juga menambahkan pengaturan dana filantropi ini, siapa yang mengatur dan bagaimana mekanismenya bisa dimasukkan dalam hospital disaster plan (HDP) RS. Filantropi itu harapannya tidak bersifat insidentil namun bagaimana kiranya suatu RS bisa menyusun profil kebutuhan RS dilengkapi dengan pembiayaannya. RSUP Dr. Sardjito juga menambahkan dari pengalaman mereka pernah ada donatur yang menanyakan RS membutuhkan apa, RS sudah memetakan apa saja yang dibutuhkan, dan mengarahkan pendonor ke bagian Humas untuk tindak lanjut.

Reporter: Happy R. Pangaribuan – Div. Manajemen Bencana Kesehatan PKMK FK-KMK UGM