Baru-baru ini, dunia tersentak oleh keputusan Donald Trump untuk menutup Badan Pembangunan Internasional Amerika (USAID). Di Indonesia, USAID telah lama dikenal sebagai sumber pendanaan penting untuk sejumlah proyek di bidang kesehatan, termasuk penanggulangan HIV, malaria, tuberkulosis, serta manajemen bencana kesehatan. USAID pun berperan signifikan dalam pengembangan sumber daya manusia di banyak negara berkembang. Dengan berhentinya donasi ini, muncul kekhawatiran mengenai dampak yang akan dirasakan pada pembangunan kesehatan di Indonesia. Meski Wakil Menteri Kesehatan, Dante Saksono Harbuwono, menyatakan bahwa Indonesia telah mendanai sistem kesehatan secara mandiri, penting untuk kita mempertimbangkan dan mempersiapkan strategi alternatif.
Penghentian bantuan internasional di sektor kesehatan bukanlah fenomena baru bagi Indonesia. Spekulasi sebelumnya sudah beredar tentang beberapa donatur Eropa yang mengalihkan fokus pendanaan mereka untuk menangani krisis pengungsi di negara mereka. Situasi ini memperlihatkan betapa pentingnya bagi setiap negara untuk memprioritaskan kebutuhan domestiknya sendiri. Disamping itu, sejak diluncurkannya sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) 11 tahun yang lalu, Indonesia telah menjadi lebih otonom dalam hal pembiayaan layanan kesehatan.
Pengalaman pandemi COVID-19 memberikan pelajaran berharga bagi dunia, termasuk Indonesia. Di tengah krisis global ini, terlihat bahwa banyak donatur lokal dan solidaritas masyarakat yang muncul untuk mengatasi permasalahan. Fenomena kegiatan amal dan gotong-royong merajalela, dan bukan hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di negara-negara lainnya. Dengan kondisi semua negara yang juga sedang berjuang melawan pandemi, sangat jelas bahwa bantuan internasional menjadi lebih sulit diandalkan. Kendati demikian, dengan munculnya kekuatan lokal dan solidaritas masyarakat, muncul harapan untuk menghadapi krisis dengan lebih mandiri.
Di Indonesia, sudah saatnya kita menyadari bahwa banyak potensi filantropi lokal untuk membantu pelayanan kesehatan, namun tidak menggantikan peran BPJS Kesehatan. Sebagaimana kita ketahui problematika yang sedang dialami oleh BPJS Kesehatan dari berbagai pemberitaan defisit hingga ancaman gagal bayar. Pertama, hendaknya kita kita mengidentifikasi program yang dapat dilakukan untuk sektor kesehatan di Indonesia. Berkaca pada tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs) oleh BAPPENAS telah ditekankan bahwa pembangunan kesehatan dapat berfokus pada tujuan SDGs nomor 2, 3, 5, dan 6 yakni mengakhiri kelaparan, kehidupan sehat dan sejahtera, kesetaraan gender, serta akses air bersih dan sanitasi layak. Hal ini dapat dicapai dengan mendorong peningkatan pelayanan kesehatan primer, pendidikan kesehatan, serta investigasi dan pelaporan kesehatan masyarakat yang lebih baik.
Kedua, adanya kolaborasi dalam berbagai forum jaringan kesehatan dapat memantik ide yang dapat diimplementasikan. Forum ini dapat dijadikan tempat untuk berbagi pengetahuan dan praktik terbaik, sehingga bisa lebih efektif menangani masalah kesehatan yang ada. Dengan demikian, kolaborasi yang baik antara berbagai pemangku kepentingan seperti pemerintah, organisasi non-pemerintah, masyarakat sipil, dan sektor swasta akan sangat krusial.
Terakhir, pemanfaatan filantropi, tanggung jawab korporasi (CSR), maupun penggalangan dana lewat charity dapat dilakukan dengan fokus pada peningkatan kualitas kesehatan di Indonesia. Mengoptimalkan peran CSR di perusahaan-perusahaan besar tidak hanya untuk tujuan kepatuhan, tetapi juga sebagai bagian dari tanggung jawab sosial mereka terhadap masyarakat. Dengan kombinasi keahlian, sumber daya, dan semangat, kita dapat menghadapi tantangan ini dengan inovasi dan keberlanjutan dalam membangun sistem kesehatan yang lebih resilien dan tangguh untuk generasi mendatang.
Sumber: Linkedin – Jodi Visnu