Redam Fanatisme dan Radikalisme, Filantropi Indonesia Dorong Filantropi Inklusif Selama Ramadhan
Siaran Pers (23/5) – Filantropi Indonesia (FI) menyerukan agar kegiatan filantropi (kedermawanan sosial) yang marak selama bulan Ramadhan bisa dimanfaatkan untuk merekatkan kembali kerukunan dan toleransi antar warga di Indonesia yang mulai tercabik-cabik karena meruyaknya fanatisme dan radikalisme. Masyarakat maupun lembaga-lembaga filantropi bisa didorong untuk menghidupkan dan menggalakkan kembali praktik filantropi inklusif, yakni kegiatan berbagi dan menolong sesama tanpa membeda-bedakan suku, agama, ras atau golongan tertentu. Melalui kegiatan filantropi inklusif ini, masyarakat dilatih dan didorong untuk menghargai perbedaan dan kebinekaan dalam kehidupan keseharian. Selain itu, pendekatan kesejahteraan yang ditawarkan filantropi juga bisa menjadi solusi bagi masalah radikalisme dan terorisme yang diakibatkan oleh kemiskinan dan kesenjangan sosial.
Seruan ini disampaikan Direktur Eksekutif Filantropi Indonesia, Hamid Abidin, menyikapi maraknya kegiatan filantropi saat Ramadhan. Menurut Hamid, Ramadhan adalah bulan Filantropi. Di bulan suci ini, kegiatan filantropi berbasis ajaran agama (religious philanthropy) semarak dan meningkat tajam, khususnya filantropi Islam dalam bentuk penggalangan, pengelolaan, dan penyaluran ZIS (Zakat, Infaq, Sedekah). Ramadhan dianggap sebagai mementum yang tepat oleh sebagian besar muslim untuk beramal atau berderma karena beragam keutamaan dan hikmah yang terkandung di dalamnya. Penyaluran dan pendayagunaan ZIS yang dihimpun selama Ramadahn ini tidak hanya menyasar kaum muslimin sebagai penerima manfaat, tapi juga pemeluk agama lain atau masyarakat umum.
Hamid menambahkan, tingginya tingkat kedermawanan masyarakat selama Ramadhan ini secara otomatis melejitkan jumlah penghimpunan sumbangan, khususnya ZIS (Zakat, Infaq shodaqah), jumlahnya yang meningkat tajam dibanding bulan-bulan lainnya. Hal ini tergambar dari data perolehan ZIS di bulan Ramadhan tahun-tahun sebelumnya. Misalnya, Data penghimpunan ZIS pada Ramadhan 2017 yang dikumpulkan FOZ (Forum Zakat) dari 35 LAZ (Lembaga Amil Zakat) yang menjadi anggotanya mencapai Rp 649 Milyar. Dana ZIS yang terhimpun selama Ramadhan ini umumnya bisa mencapai 40% – 60% dari total penghimpunan ZIS selama setahun. Sementara data BAZNAS menunjukkan bahwa ZIS yang dihimpun selama bulan Ramadhan oleh BAZ (Badan Amil Zakat) maupun LAZ mencapai Rp 2 triliun atau 32% % dari jumlah total dari penghimpunan ZIS selama 2017 yang mencapai Rp 6,24 triliun. Jumlah penghimpunan zakat ini meningkat 10% dibanding Ramadhan di tahun sebelumnya. Filantropi Indonesia memproyeksikan zakat yang terhimpun di bulan Ramadhan 2018 ini bisa mencapai Rp 2,5 triliun.
Selain filantropi Islam, menurut Hamid, umat agama lain juga ikut menyemarakkan Ramadhan dengan berbagi dan berderma untuk saudara-saudaranya yang beragama Islam. Selama Ramadhan banyak ditemukan individu, komunitas, dan organisasi keagamaan berbagi makanan buka puasa maupun sahur bagi umat muslim yang menjalankan ibadah puasa. Misalnya, banyak gereja yang menyediakan dan membagikan makanan berbuka bagi kaum muslim yang berpuasa. Sebagian besar klenteng dan vihara juga menyelenggarakan buka puasa bersama bagi mereka yang berpuasa. Sementara organisasi dan kelompok-kelompok yang bergiat di isu interfaith (dialog lintas iman) juga gencar menyelenggarakan safari Ramadhan yang juga diisi dengan kegiatan berbagi untuk masyarakat muslim maupun non-muslim.
Meski berbasis ajaran agama tertentu, dalam praktiknya kegiatan berbagi dan menolong sesama ini dilakukan tanpa membeda-bedakan agama, suku, ras atau golongan tertentu. Individu maupun lembaga filantropi memberikan sumbangan dan bantuan kepada individu atau kelompok-kelompok lainnya tanpa diskriminasi, tanpa melihat latar belakang agama, suku atau golongan dari si penerima manfaat. Bahkan, dalam banyak kasus, mereka banyak menolong dan membantu kelompok agama yang lain. Filantropi inklusif ini diyakini bisa berkontribusi dan berperan penting untuk meredam dan meminimalisir fanatisme, radikalisme dan intoleransi di Indonesia.
Filantropi inklusif juga bisa berperan dan berkontribusi signifikan dalam menyemai benih perdamaian, merekatkan kerukunan, meningkatkan toleransi serta dialog dan kerja sama lintas agama dan golongan. Kemurahan hati dan cinta kasih sebagai inti dari kegiatan filantropi merupakan ajaran yang ada di semua agama dan kepercayaan di dunia. Tak heran jika filantropi bisa menembus sekat-sekat perbedaan dan mampu menyatukan para pihak dari beragam kepercayaan, latar belakang dan pilihan politik berbeda. Semua bisa rukun, bersatu, dan bekerja sama atas nama cinta kasih dan kemanusiaan.
Namun, Hamid menyayangkan, praktik filantropi inklusif ini dalam beberapa tahun terakhir mulai menemui tantangan dan hambatan, bahkan mulai surut dan tak lagi dipraktekkan. Munculnya penolakan dari individu dan kelompok tertentu membuat banyak pihak merasa terganggu dan tak lagi nyaman untuk memberikan sumbangan pada saudara-saudaranya yang berbeda agama. Misalnya, banyak warga yang punya tradisi mengantarkan makanan buka puasa dan sahur terpaksa menghentikan tradisi tersebut karena mendapatkan penolakan dari warga lainnya. Beberapa kegiatan bakti sosial dan penyaluran sumbangan yang melibatkan komunitas lintas iman juga terhambat dan terhenti karena adanya penolakan, ancaman dan intimidasi dari kelompok lainnya. Penolakan terhadap praktik filantropi inklusif ini umumnya terjadi karena pemahaman keagamaan yang sempit dan keliru dalam memahami kegiatan tersebut. Faktor penghambat lainnya adalah ajang kontestasi politik (Pemilu dan Pilkada) yang membuat warga terpolarisasi dan menjadi fanatik, radikal dan intoleran terhadap orang lain yang berbeda pandangan dan pilihan politik.
Karena itu, Filantropi Indonesia mendorong agar praktik filantropi inklusif untuk dihidupkan dan digalakkan kembali. Bulan Ramadhan, dimana kegiatan filantropi sedang marak, bisa digunakan sebagai momentum untuk menggalakkan kembali praktik baik tersebut. Promosi dan praktik filantropi inklusif bisa jadi instrumen soft advocacy dalam meredam fanatisme dan radikalisme di Indonesia. Promosi dan praktek filantropi inklusif khususnya di kalangan generasi muda juga bisa menjadi counter activity terhadap ujaran kebencian dan dan permusuham yang belakangan marak karena menawarkan nilai-nilai yang humanis, welas asih, dan toleran. Dengan melibatkan generasi millenial dalam aksi dan kampanyenya, filantropi inklusif brepotensi bisa lebih diterima kalangan anak muda dan masyarakat umum karena menawarkan keteladanan, interaksi dan strategi komunikasi, serta aktivitas yang kreatif khas generasi zaman now.
Sumber: https://kumparan.com/perhimpunan-filantropi-indonesia/filantropi-inklusif-selama-ramadhan/full