INDONESIA dan kedermawanan seperti koin mata uang, keduanya tak bisa dipisahkan. Lembaga internasional partikelir Charities Aid Foundation (CAF) mengungkapkan pada tahun 2020 lalu, Indonesia menduduki rangking pertama dalam indeks kedermawanan dunia (The Worldgiving Index/WGI).
Indikator dalam pemeringkatan ini terdiri tiga aspek, yakni donasi uang (donating money), membantu pihak lainnya (help stanger) serta kesiapan menjadi relawan (volunteering time).
Dari ketiga indikator tersebut, Indonesia menduduki rangking pertama di dua indikator sekaligus, yakni donasi uang dan kesiapan menjadi relawan.
Temuan tersebut mengonfirmasi tentang profil masyarakat Indonesia, sebagaimana disebut Mohammad Hatta dalam rapat Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK), bahwa kedaulatan rakyat Indonesia berakar dari pergaulan hidup yang bersifat kolektivisme (Yudi Latif, 2011).
Masyarakat Indonesia yang suka berderma, menolong dan empatik berjalin kelindan dengan layanan yang diberikan sejumlah pihak baik oleh individu maupun lembaga-lembaga yang memfasilitasi filantropi masyarakat Indonesia.
Apalagi, seiring berkembangnya media sosial melalui platform digital dalam satu dekade terakhir ini makin memudahkan mobilisasi donasi di tengah-tengah warga internet (internet citizen). Seperti data Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) sepanjang tahun 2021 lalu mampu mengumpulkan dana zakat dan dana sosial keagamaan lainnya (DSKL) mencapai Rp 14 triliun. Angka ini mengalami kenaikan sebesar 33,8 persen dibanding tahun sebelumnya. Begitu juga Dompet Dhuafa pada periode yang sama juga mengalami kenaikan sebesar 23,05 persen atau mampu menghimpun dana sebesar Rp 424 miliar.
Merujuk data dari laman Filantropi Indonesia, terdapat beragam core bussiness filantropi di Indonesia. Mulai dari filantropi yang didirikan oleh figur, tokoh atau keluarga, filantropi yang berbasis korporasi, filantropi berbasis keagamaan, filantropi independen, serta filantropi yang didirikan perusahaan media massa (perusahaan pers).
Pada akhirnya, antara semangat kedermawanan masyarakat Indonesia di satu sisi dan berlimpahnya lembaga filantropi di sisi yang lain berada pada titik yang sepadan. Karena itu, pengaturan pengelolaan dari hulu hingga hilir termasuk pengawasan pelaksanaan pengumpulan derma warga menjadi kebutuhan mendesak.
Aturan hulu-hilir
Pengelolaan filantropi yang akuntabel dan berintegritas tentu membutuhkan perangkat sistem yang kukuh. Karena dalam praktiknya tantangan filantropi di Indonesia saat ini kian kompleks. Sejumlah persoalan yang muncul dalam pelaksanaan filantropi mulai dari mobilisasi hingga penyaluran dana dalam praktiknya menimbulkan masalah.
Pertama, kemudahan individu atau lembaga menggalang bantuan melalui fasilitas platform media sosial hingga melahirkan sisi paradoks berupa “pengemis daring”. Keberadaan media sosial menjadi cara cepat untuk menggalang bantuan jika terdapat musibah yang menimpa warga lainnya. Namun di tengah kemudahan dan kecepatan penggalangan, masalah serius muncul, yakni soal transparansi penggalangan dana tersebut.
Kedua, lemahnya mekanisme pelaporan atas dana yang terkumpul. Penggalangan donasi warga tidak diikuti mekanisme pelaporan penggalangan dana yang akuntabel. Belum ada mekansime yang mengatur tentang kewajiban pelaporan hasil pengumpulan dana ke publik.
Ketiga, praktik tumpang tindih bantuan. Dalam praktiknya tak sedikit terjadi ketimpangan perolehan bantuan satu tempat dengan tempat lainnya khususunya saat merespons peristiwa bencana alam yang sporadis. Dalam konteks ini, persoalan data di lapangan serta aktivasi unit pemerintah hingga di level bawah menjadi isu penting.
Keempat, posisi pemerintah di satu sisi sebagai regulator dan di sisi yang lain sebagai penyelenggaran filantropi melalui Kementerian Sosial semestinya menjadi konduktor dalam orkestra filantropi di Indonesia khususnya dalam merespons kegawatdaruratan di tengah masyarakat seperti bencana alam dan lainnya.
Dalam beberapa peristiwa lembaga filantropi partikelir lebih atratktif dan dinamis dalam mitigasi di lapangan, setidaknya melalui narasi di publik. Sedikitnya empat persoalan yang muncul di lapangan itu belum dapat terjawab melalui keberadaan aturan seperti UU No 9 Tahun 1961 tentang Pengumpulan Uang atau Barang, PP No 29 Tahun 1980 tentang Pelaksana Pengumpulan Sumbangan, UU No 15 Tahun 2017 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pengumpulan dan Penggunaan Sumbangan Masyarakat Bagi Penanganan Fakir Miskin serta Permensos No 8 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Pengumpulan Uang atau Barang. Sejumlah aturan tersebut lebih banyak mengatur tentang birokratisasi perizinan lembaga dalam pengumpulan sumbangan baik uang maupun barang. Ragam aturan tersebut belum secara adaptif dalam merespons ragam persoalan yang muncul baik dari sisi hulu hingga hilir dalam praktik filantropi di Indonesia.
Isu pendataan lembaga, transparansi, pengawasan, serta integrasi gerakan filantropi antara negara dan warga negara belum muncul. Pemerintah dalam kapasitasnya sebagai penyelenggara pemerintahan dapat mengaktifkan fungsi pengaturan sekaligus pengawasan baik bersifat preventif maupun represif dalam tata laksana filantropi di Indonesia. Meski, harus ditekankan keterlibatan negara bukan dalam rangka birokartisasi filantropi yang justru menghambat respons cepat (quick response) penyaluran bantuan di masyarakat yang tertimpa musibah.
Kolaborasi negara dan warga
Praktik filantorpi di Indonesia khususnya dalam merespons kejadian luar biasa di tengah-tengah masyarakat dalam kenyataanya melahirkan kolaborasi antara negara dan warga negara. Sejumlah peristiwa penting mengonfirmasi ihwal tersebut. Keterlibatan warga negara secara aktif dalam merespons persoalan kemasyarakatan semakin mengukuhkan karakteristik masyarakat Indonesia yang guyub dan peduli. Di sisi lain, keterlibatan warga negara dalam urusan filantropi akan meringakan tugas negara menjalankan fungsinya dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat sebagaimana amanat konstitusi.
Di sisi yang lain persoalan birokratisasi filantropi pemerintah dalam merespons peristiwa di lapangan kerapnya menjadikan aksi pemerintah tampak tidak gesit dalam merespons kegawatdaruratan di lapangan. Situasi ini berbeda dengan aksi cepat warga negara atau lembaga partikelir yang relatif lentur dalam merespons persoalan di lapangan. Hal ini mengonfirmasi pandangan Nina Eliashop dalam The Politics of Volunteering (2013) yang menyebutkan karakteristik relawan yang langsung masuk pada pokok persoalan dan memecahkan masalahnya.
Situasi itu berbeda dengan aktivis politik yang mempertanyakan akar suatu masalah. Dua hal yang tampak paradoksal ini semestinya tidak perlu terjadi di waktu-waktu mendatang. Konsepsi kolaborasi antara negara dan warga negara dalam merespons persoalan di tengah masyarakat jauh akan lebih memudahkan penanganan di lapangan. Karena itu, ketersediaan aturan main dari hulu hingga hilir termasuk di dalamnya mengolaborasikan negara dan warga negara mutlak dilakukan agar filantropi di Indonesia menjadi kekuatan bagi bangsa Indonesia untuk menyelesaikan persoalan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat.
Editor : Sandro Gatra
Sumber: https://nasional.kompas.com/read/2022/09/06/07300031/menjaga-akuntabilitas-derma-warga.