Indeks Filantropi RI Stagnan di “Doing Okay” Selama 2 Tahun, Perlu Ada Perbaikan Regulasi

Indeks Filantropi RI Stagnan di “Doing Okay” Selama 2 Tahun, Perlu Ada Perbaikan Regulasi

Berita

JAKARTA, – Laporan Doing Good Index (DGI) 2022 menempatkan Indonesia di jajaran negara dengan peringkat ‘doing okay’ dalam mendukung kegiatan filantropi atau inisiatif sosial yang dilakukan warganya melalui organisasi sosial. Peringkat tersebut masih sama seperti dua tahun sebelumnya. Hal ini mengindikasikan minimnya perubahan dan terobosan regulasi dalam dua tahun terakhir untuk mendukung sektor filantropi dan nirlaba.

Laporan itu sekaligus menggambarkan bahwa regulasi sektor filantropi dan nirlaba di Indonesia sulit untuk dipahami dan tidak konsisten dalam penegakannya, sehingga menyulitkan para pegiat organisasi sosial untuk mematuhi dan melaksanakannya.

“Secara umum memang dalam dua tahun terakhir belum ada terobosan, sehingga status Indonesia masih ‘doing okay’, dalam konteks ini bahasa umumnya so-so lah, tidak menghambat tapi juga tidak mendukung,” ujar Ketua Badan Pengurus Public Interest Research and Advocacy Center (PIRAC) Hamid Abidin dalam konferensi pers, Jumat (26/11/2022).

Kajian dua tahunan yang dilaksanakan oleh Centre for Asian Philanthropy and Society (CAPS) ini dilakukan di 17 negara Asia, termasuk Indonesia, dengan melibatkan 2.239 organisasi sebagai responden dan 126 panel ahli. Pelaksanaan riset DGI 2022 di Indonesia dilakukan berkolaborasi dengan organisasi nirlaba CCPHI.

DGI merupakan kajian untuk memberikan gambaran mengenai peta kebijakan, praktik institusi, dan lanskap sektor sosial di negara yang dikaji. Ada empat indikator yang dikaji terkait memperkuat atau melemahkan inisiatif sosial, yaitu: peraturan perundang-undangan, kebijakan pajak dan fiskal, kebijakan procurement (pengadaan barang dan jasa), serta ekosistem. Posisi negara yang dikaji berdasarkan empat indikator tersebut kemudian di kelompokkan dalam empat klaster, di mulai dari yang terburuk sampai yang terbaik, yakni ‘not doing enough’, ‘doing okay’, ‘doing better’, dan ‘doing well’.

Klaster “doing okay” 

Berdasarkan hasil survei yang sudah dilakukan tiga kali yakni pada 2018, 2020, dan 2022, Indonesia belum mampu untuk masuk dalam klaster ‘doing better’. Bahkan, pada 2018 peringkat Indonesia ada pada klaster ‘not doing enough’ yang kini naik dan hanya bertahan di klaster ‘doing okay’. Indonesia berada di klaster ‘doing okay’ bersama dengan beberapa negara lainnya, yaitu Kamboja, India, Nepal, Pakistan, Thailand, dan Vietnam. Posisi Indonesia dalam DGI masih di bawah beberapa negara lainnya seperti Malaysia, Filipina, Jepang, hingga Singapura.

Predikat ‘doing okay’ ini mengindikasikan bahwa inisiatif warga untuk berbuat baik di Indonesia, khususnya yang dilakukan melalui organisasi filantropi dan nirlaba, belum sepenuhnya didukung oleh regulasi dan kebijakan terkait sektor tersebut.

Perubahan Regulasi, Kebijakan Filantropi dan Nirlaba

Regulasi dan kebijakan yang diterbitkan oleh pemerintah belum menjadi ‘enabling environment‘ dalam pengembangan berbagai inisiatif warganya untuk berbuat baik. Laporan itu menunjukkan bahwa pendanaan asing dan pendanaan pemerintah untuk sektor sosial secara proporsional menurun antara 2020 dan 2022.

Pada 2020 porsi pendanaan asing 49% dan di 2022 porsinya menjadi 42%, serta pendanaan pemerintah dari 6% di 2020 menjadi 2% di 2022. Sementara, pendanaan dari sumber dalam negeri yakni perorangan, yayasan, dan perusahaan meningkat 10%. Para organisasi filantropi atau nirlaba meyakini bahwa tingkat pendanaan dalam negeri masih rendah dan masih terdapat ruang untuk peningkatan donasi.

Menurut Hamid, perlu adanya perbaikan regulasi untuk bisa mendorong pendanaan kegiatan filantropi atau nirlaba, sebab regulasi Indonesia saat ini sulit dipahami dan diterapkan karena sebagian regulasi yang mengatur organisasi dan kegiatan sosial sudah tergolong usang.

Ia mencontohkan, seperti Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1961 yang menjadi rujukan utama kegiatan filantropi sulit dipahami karena sebagian pasalnya sudah tidak sesuai lagi dengan konteks kegiatan filantropi saat ini. Hal ini juga berdampak pada penerapannya yang sulit dan tidak konsisten. Misalnya, mekanisme perizinan yang diterapkan dalam regulasi tersebut tidak bisa diterapkan untuk penggalangan bantuan bagi korban bencana yang membutuhkan kecepatan. Sebagian pasalnya juga tidak relevan dengan kegiatan filantropi dan penggalangan donasi digital yang diterapkan oleh sebagian besar lembaga filantropi/nirlaba di Indonesia. Hal ini juga berdampak pada implementasi regulasi yang rumit dan inkonsisten dalam penegakannya.

“Karena itu, regulasi ini sudah mendesak untuk direvisi atau diganti karena terbukti menghambat warga untuk berbuat baik melalui kegiatan berbagi dan membantu masyarakat yang membutuhkan,” paparnya.

Pajak Sektor Nirlaba

Hamid turut menyoroti kebijakan perpajakan dan fiskal bagi sektor nirlaba di Indonesia yang dinilai kurang mendukung kegiatan filantropi dan nirlaba. Menurutnya, kebijakan insentif perpajakan bagi sektor filantropi dan nirlaba di Indonesia jauh tertinggal dibanding negara lain. Insentif pajak di Indonesia dibatasi hanya untuk bidang-bidang tertentu dan nilai insentif pajaknya juga kecil, dibandingkan dengan kebijakan insentif pajak di negara-negara lain yang cakupannya luas dan nilai insentifnya besar, bahkan sampai memberikan insentif dalam jumlah besar (super deduction) untuk mendorong individu dan perusahaan menyumbang ke isu atau bidang tertentu yang dinilai penting dan strategis.

“Insentif pajak kita masuk kategori insentif pajak dengan nilai terendah di Asia dan hampir menghilangkan efek dari insentif dari pemotongan pajak tersebut,” kata dia.

Hamid pun berharap laporan DGI 2022 bisa menjadi referensi bagi pemerintah untuk memperbaiki dan membuat terobosan regulasi dan kebijakan dalam rangka penguatan sektor filantropi dan nirlaba. Laporan ini bisa memberikan gambaran posisi Indonesia dalam pengaturan sektor nirlaba dibandingkan negara-negara lainnya di Indonesia.

Tidak seperti negara-negara lain yang kegiatan filantropinya ditopang oleh tradisi dan ajaran agama serta kebijakan yang mendukung, filantropi Indonesia berkembang semata-mata karena ditopang tradisi dan ajaran agama minus dukungan kebijakan dari pemerintah.

Revisi dan terobosan kebijakan menjadi langkah penting agar kegiatan filantropi dan nirlaba yang tengah berkembang pesat bisa diperkuat dan dimanfaatkan untuk mengatasi persoalan soslal masyarakat. Selain itu, pemerintah juga perlu mendorong dan memfasilitasi kemitraan organisasi filantropi dan nirlaba dengan aktor pembangunan lainnya seperti perusahaan, perguruan tinggi, dan media, melalui penyediaan insentif dalam bentuk rekognisi, apresiasi, kemudahaan dan insentif perpajakan.

“Kajian DGI ini diharapkan bisa jadi semacam masukan bagi pemerintah untuk melihat posisi kita (Indonesia) saat ini dibandingkan negara-negara lain dalam pengembangan sektor filantropi,” pungkas Hamid.

Sumber: https://money.kompas.com/read/2022/11/26/153000726/indeks-filantropi-ri-stagnan-di-doing-okay-selama-2-tahun-perlu-ada-perbaikan?page=all.